Kontroversi Program Pembinaan Siswa Nakal di Barak Militer Jawa Barat
Rencana Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk melibatkan militer dalam pembinaan siswa bermasalah menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Program yang rencananya akan dimulai pada 2 Mei 2025, ini akan mengirimkan siswa SMA/SMK yang dianggap nakal ke barak militer untuk menjalani pembinaan intensif selama enam bulan hingga satu tahun.
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, secara tegas menentang program ini. Menurutnya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukanlah lembaga pendidikan atau rehabilitasi anak. Menyerahkan penanganan kenakalan remaja kepada institusi militer dianggap sebagai langkah yang keliru dan berpotensi kontraproduktif. Ardi Manto Adiputra menyampaikan bahwa institusi militer memiliki prinsip kedisiplinan keras dan karakter kekerasan yang kuat, sehingga penempatan siswa di barak militer justru dapat menumbuhkan perilaku kekerasan pada anak.
Ardi Manto Adiputra mempertanyakan dasar ilmiah yang mendukung efektivitas pendekatan militer dalam mengatasi kenakalan remaja. Ia khawatir bahwa alih-alih menyadarkan dan memotivasi siswa, program ini justru dapat memicu trauma dan meningkatkan potensi agresi pada diri anak. Ardi Manto Adiputra mendesak pemerintah untuk meninjau ulang program ini dan melibatkan berbagai kementerian terkait, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Sosial, untuk mencari solusi yang lebih komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan anak. Menurutnya, pemerintah daerah dan dinas pendidikan telah gagal dalam menangani masalah kenakalan siswa, sehingga melibatkan institusi lain sebagai solusi.
Kritik juga menyoroti potensi pelanggaran hak-hak anak dalam program ini. Pendekatan terhadap anak-anak yang bermasalah harus dilakukan secara khusus dan berbeda dengan penanganan orang dewasa. Pengiriman siswa ke barak militer dikhawatirkan akan melanggar konvensi internasional tentang hak-hak anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Program ini menimbulkan pertanyaan tentang keseimbangan antara disiplin dan hak asasi manusia, serta efektivitas jangka panjang dalam membentuk karakter siswa.
Selain itu, para pengamat pendidikan juga mempertanyakan relevansi pelatihan militer dengan masalah kenakalan remaja. Mereka berpendapat bahwa masalah kenakalan remaja lebih kompleks dan membutuhkan pendekatan psikologis, sosial, dan pendidikan yang holistik, bukan sekadar indoktrinasi militeristik. Beberapa pakar menyarankan agar pemerintah daerah fokus pada peningkatan kualitas pendidikan, penyediaan layanan konseling yang memadai, dan pengembangan program-program yang memberdayakan siswa untuk mengatasi masalah mereka secara positif.
Poin-poin yang menjadi sorotan dalam kontroversi ini:
- Kesesuaian Peran TNI: Apakah TNI memiliki kompetensi dan sumber daya yang memadai untuk menangani masalah kenakalan remaja?
- Efektivitas Pendekatan Militer: Apakah pendekatan militer efektif dalam mengatasi akar masalah kenakalan remaja?
- Potensi Pelanggaran Hak Anak: Apakah program ini berpotensi melanggar hak-hak anak yang dijamin oleh undang-undang dan konvensi internasional?
- Alternatif Solusi: Apakah ada solusi lain yang lebih efektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan dan perlindungan anak?
Kontroversi ini menunjukkan pentingnya pendekatan yang hati-hati dan komprehensif dalam menangani masalah kenakalan remaja. Pemerintah perlu mempertimbangkan semua aspek dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa solusi yang diambil benar-benar efektif dan tidak merugikan anak-anak.