Gelombang Kebangkrutan Melanda Industri Kuliner: Kisah Suram Restoran Legendaris dan Milik Pesohor

Bisnis kuliner, dengan segala gemerlapnya, tak selalu menjanjikan kesuksesan abadi. Di balik hidangan lezat dan atmosfer yang menggoda, tersembunyi tantangan berat yang mampu meruntuhkan imperium restoran, bahkan yang telah berdiri kokoh selama puluhan tahun atau berada di bawah naungan nama besar.

Beberapa waktu lalu, dunia kuliner Singapura dikejutkan dengan pengumuman penutupan New Scissor-Cut Curry Rice Restaurant, sebuah legenda yang telah menemani warga Geylang selama tiga dekade. Restoran yang terkenal dengan nasi kari guntingnya ini, terpaksa mengakhiri perjalanan panjangnya pada 12 Mei 2025. Keputusan pahit ini diambil akibat penurunan penjualan yang signifikan sejak tahun 2024, mencapai angka 50%. Pemilik restoran mengakui bahwa berbagai tantangan operasional menjadi penyebab utama, meski enggan merinci lebih jauh.

Kisah serupa juga menghampiri dunia selebriti. Pembalap Formula 1, Lewis Hamilton, ternyata memiliki investasi di bisnis kuliner, termasuk jaringan restoran vegan Neat Burger. Sayangnya, beberapa gerai Neat Burger di Inggris dan New York harus gulung tikar. Perusahaan Hamilton dilaporkan mengalami kerugian lebih dari Rp 10 miliar per tahun sejak 2022. Saat ini, Hamilton hanya memiliki dua restoran Neat Burger yang berlokasi di Milan, Italia. Ia memulai bisnis restoran ini sejak 2019 dengan menu burger vegan. Leonardo DiCaprio juga merupakan salah satu investor dan co-founder. Penutupan Neat Burger ini berdampak pada lebih dari 150 karyawan yang kehilangan pekerjaan.

Tak hanya restoran legendaris dan milik pesohor, jaringan restoran yang memiliki banyak cabang pun tak luput dari ancaman kebangkrutan. Khoo Keat Hwee, seorang pengusaha muda berusia 38 tahun asal Singapura, mengalami pengalaman pahit ini. Dulu, ia memiliki sembilan cabang restoran Jepang Mentai-Ya dan dua kafe. Namun, kini semua unit bisnis kulinernya telah lenyap.

Dalam sebuah unggahan di Instagram story, Keat Hwee mengungkapkan kesedihannya atas kegagalan ini. Ia mengeluhkan tingginya biaya sewa tempat usaha di Singapura dan menyesali keputusannya untuk mendaftarkan pajak barang dan jasa (GST), yang menyebabkan harga jual produknya menjadi lebih mahal. Keat Hwee mengaku telah berjuang keras untuk mempertahankan bisnisnya, namun akhirnya harus merelakan kerugian sebesar $550.000 atau sekitar Rp 7 miliar dalam dua tahun terakhir.

Kisah-kisah pilu ini menjadi pengingat bahwa bisnis restoran adalah arena yang penuh persaingan dan tantangan. Kesuksesan tidak datang dengan sendirinya, melainkan membutuhkan kerja keras, inovasi, dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan pasar. Kegagalan bisa menghampiri siapa saja, bahkan mereka yang telah memiliki nama besar atau jaringan yang luas.