Menkes Soroti Disparitas Harga Obat Mencolok Antar Rumah Sakit

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyoroti adanya disparitas harga obat yang signifikan antar rumah sakit di Indonesia. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan temuan ini dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (30/4/2025), dan menyatakan akan melakukan perbaikan tata kelola untuk mengatasi masalah ini.

Menkes menjelaskan bahwa perbedaan harga obat, bahkan untuk merek yang sama, ditemukan baik antar rumah sakit pemerintah maupun antara rumah sakit pemerintah dan swasta. Ia menyoroti perbedaan diskon yang didapatkan rumah sakit, di mana rumah sakit swasta terkadang dapat memperoleh diskon yang jauh lebih besar dibandingkan rumah sakit pemerintah.

"Setelah kita bandingkan, kita itu beli obatnya tidak sama untuk merek yang sama di satu rumah sakit maupun rumah sakit-rumah sakit yang lain," ujar Menkes.

"Ada yang mahal, ada yang murah, semuanya beda-beda. Saya tanya ke swasta mungkin bisa dapat 30-40 persen diskon, kenapa kita dapatnya cuma 4 persen, 6 persen diskon? Range satu rumah sakit bisa berbeda dengan rumah sakit yang lain," lanjutnya.

Sebagai contoh, Menkes menunjuk pada perbedaan harga obat cardiac occluder. Pemerintah, menurutnya, dapat membeli obat ini dengan total anggaran Rp 26 miliar per tahun. Namun, harga satuan obat ini sangat bervariasi antar rumah sakit, dengan selisih mencapai Rp 10 juta.

"Ternyata satu RS ke RS lain bedanya jauh sekali, ada sampai puluhan juta. Ini ada yang dari sisi spesifikasi memang salah, tapi ada juga yang tidak. Ini sedang kita rapikan," terang Menkes.

Menkes memberikan contoh spesifik perbedaan harga untuk amplatzer septal occluder yang didistribusikan oleh PT Nugra Karsera. Di RSUP Kariadi, harga satuan obat ini mencapai Rp 41 juta, sementara di RS Anak dan Bunda, harganya Rp 31 juta.

Perbedaan harga serupa juga ditemukan pada amplatzer duct occluder yang didistribusikan oleh PT Nugra Karsera. Di RSUP Wahidin, harga satuan obat ini adalah Rp 29 juta, sedangkan di RSUP Harapan Kita, harganya Rp 20 juta.

Menkes menekankan pentingnya perbaikan tata kelola farmasi untuk meningkatkan efisiensi manajemen operasional dan pembiayaan. Ia berharap dengan adanya perbaikan ini, sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia dapat menjadi lebih tertata dan efisien.

Kemenkes berencana untuk menindaklanjuti temuan ini dengan melakukan audit dan evaluasi terhadap proses pengadaan obat di berbagai rumah sakit. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi penyebab perbedaan harga yang signifikan dan menerapkan langkah-langkah perbaikan yang diperlukan.

Berikut adalah daftar obat dengan selisih harga yang signifikan:

  • Cardiac Occluder: Selisih harga hingga Rp 10 juta antar RS.
  • Amplatzer Septal Occluder (PT Nugra Karsera):
    • RSUP Kariadi: Rp 41 juta.
    • RS Anak dan Bunda: Rp 31 juta.
  • Amplatzer Duct Occluder (PT Nugra Karsera):
    • RSUP Wahidin: Rp 29 juta.
    • RSUP Harapan Kita: Rp 20 juta.

Diharapkan dengan adanya transparansi dan perbaikan tata kelola, harga obat di Indonesia dapat menjadi lebih terjangkau dan merata, sehingga masyarakat dapat memperoleh akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan.