Perjalanan Bank Central Asia: Dari Perusahaan Rajut hingga Penguasaan Saham oleh Negara
Bank Central Asia (BCA), sebagai salah satu bank swasta terkemuka di Indonesia, memiliki sejarah yang dinamis dan penuh liku-liku. Perjalanan panjangnya mencerminkan evolusi ekonomi dan politik Indonesia, termasuk periode ketika mayoritas sahamnya dikuasai oleh pemerintah Republik Indonesia.
Sejarah BCA bermula pada tahun 1955 dengan nama NV Perseroan Dagang Dan Industrie Semarang Knitting Factory. Perusahaan ini, didirikan sebagai bisnis perajutan kain di Semarang, Jawa Tengah, kemudian mengalami transformasi signifikan di bawah kepemimpinan Sudono Salim atau Liem Sioe Liong, pendiri Grup Salim. Pada tahun 1957, perusahaan ini berganti nama menjadi NV Bank Central Asia, menandai langkah awal menjadi lembaga keuangan.
Perpindahan kantor pusat ke Jakarta, tepatnya di kawasan Asemka, menjadi tonggak penting dalam perkembangan BCA. Di lokasi ini, cabang pertama Bank BCA dibuka. Transformasi nama perusahaan menjadi PT Bank Central Asia secara resmi terjadi pada tahun 1975, dan dua tahun kemudian, BCA memperoleh status sebagai bank devisa. Tahun 1980-an hingga 1990-an menjadi periode ekspansi pesat bagi BCA, dengan pengembangan produk dan layanan inovatif, termasuk layanan perbankan online yang pada masa itu masih tergolong langka.
Krisis moneter tahun 1998 membawa perubahan besar dalam kepemilikan BCA. Krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara, dengan Indonesia sebagai negara yang paling terdampak, menyebabkan terjadinya rush atau penarikan dana besar-besaran oleh nasabah karena kekhawatiran akan keamanan simpanan mereka. Akibatnya, BCA menjadi Bank Take Over (BTO) dan masuk dalam program rekapitalisasi dan restrukturisasi yang dijalankan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Pengambilalihan saham oleh pemerintah dilakukan sebagai bagian dari penyelesaian utang Grup Salim terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pada tahun 1999, setelah proses rekapitalisasi selesai, pemerintah Indonesia melalui BPPN secara resmi menguasai 92,8 persen saham BCA. Hal ini menandai berakhirnya era kepemilikan Grup Salim atas BCA.
Pemerintah, melalui BPPN, kemudian melakukan serangkaian divestasi saham BCA. Pada tahun 2000, sebanyak 22,5 persen saham dilepas melalui Penawaran Saham Publik Perdana (IPO). Setahun kemudian, dilakukan Penawaran Publik Kedua (Secondary Public Offering) sebesar 10 persen. Pengambilalihan saham terbesar terjadi pada tahun 2002, ketika Farindo Investment (Mauritius) Limited mengakuisisi 51 persen saham BCA melalui tender strategic private placement. Proses divestasi berlanjut hingga tahun 2005, ketika seluruh sisa saham pemerintah di BCA dilepas ke investor swasta.
Saat ini, mayoritas saham BCA dimiliki oleh PT Dwimuria Investama Andalan, perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Djarum. Robert Budi Hartono dan Michael Hartono, pemilik Grup Djarum, menjadi pemegang saham utama PT Dwimuria Investama Andalan. Keduanya dikenal sebagai tokoh bisnis terkemuka di Indonesia dengan berbagai investasi di berbagai sektor, termasuk rokok, elektronik, dan keuangan.