Mahfud MD: Suara Independen di Tengah Krisis Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan

Mahfud MD dan Oposisi Individual: Sebuah Refleksi atas Krisis Hukum dan Tata Kelola

Di tengah berbagai permasalahan hukum dan tata kelola pemerintahan yang kompleks, figur seperti Mahfud MD muncul sebagai suara independen yang patut diperhatikan. Ia menjadi representasi dari "oposisi individual", sebuah kekuatan penyeimbang di luar struktur partai atau parlemen yang formal. Oposisi ini lahir dari legitimasi moral, pengalaman pemerintahan, dan keberanian untuk melawan dominasi kekuasaan.

Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), menyuarakan kegelisahannya terhadap kondisi hukum di Indonesia. Salah satu perhatian utamanya adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden. Ia mendorong kembali perlunya Undang-Undang Kepresidenan untuk mencegah terjadinya abuse of power dan praktik memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Menurut Mahfud, bangsa ini belum memiliki UU Kepresidenan yang secara jelas membedakan peran presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, penguasa tertinggi angkatan bersenjata, ketua partai, dan kepala keluarga. Ketiadaan pembedaan ini membuka celah terjadinya konflik kepentingan, yang semakin marak terjadi di Indonesia. Konflik kepentingan ini diperparah dengan tren rangkap jabatan, di mana menteri merangkap sebagai CEO atau komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), meski Mahkamah Konstitusi telah melarang praktik tersebut.

Pelanggaran Hukum dan Ketidakberdayaan Lembaga Kontrol

Undang-Undang Kementerian Negara No. 39/2008 secara tegas melarang menteri merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris atau direksi perusahaan negara atau swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN/APBD. Namun, faktanya, aturan ini seringkali dilanggar. Beberapa menteri dan wakil menteri tetap merangkap jabatan sebagai CEO perusahaan atau komisaris BUMN, tanpa tindakan berarti dari lembaga kontrol seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Mahfud MD secara terbuka menyatakan bahwa praktik rangkap jabatan ini mengindikasikan adanya korupsi. Pernyataan ini menyoroti lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di Indonesia.

Selain masalah rangkap jabatan, Mahfud juga menyoroti produk hukum yang lolos dari kontrol dan menimbulkan kegelisahan di masyarakat. Salah satu contohnya adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 5/2023 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang menimbulkan ketidakpastian di kalangan pekerja sawit. Perpres ini membentuk satuan tugas pengawasan kawasan hutan yang diketuai oleh Menteri Pertahanan, dengan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus sebagai ketua dewan pelaksana. Pasal 5 Perpres tersebut menyebutkan bahwa pemulihan aset di kawasan hutan dapat dilakukan melalui mekanisme pidana, perdata, dan administrasi.

Perpres ini memunculkan berbagai persoalan, seperti konflik regulasi, kelembagaan satgas yang dipimpin oleh Menhan dan Kejaksaan Agung, serta ancaman penggunaan pidana yang tidak jelas kapan akan diterapkan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha sawit dan mengancam operasional usaha mereka.

Premanisme dan Keruntuhan Dunia Hukum

Permasalahan tata kelola pemerintahan di Indonesia semakin diperparah dengan maraknya praktik premanisme. Selama beberapa bulan terakhir, media banyak memberitakan keluhan dunia usaha mengenai gangguan preman, namun belum ada upaya signifikan untuk mengatasi masalah ini. Preman seakan menjadi proksi dari negara, dan isu premanisme ini dibiarkan begitu saja.

Kondisi ini menunjukkan adanya keruntuhan dalam dunia hukum di Indonesia. Aturan hukum dipermainkan dan diubah sesuai selera penguasa. Vonis hakim diperjualbelikan, dan undang-undang dibuat bukan untuk keadilan, melainkan untuk kepentingan tertentu, termasuk state reclaiming. Produk hukum pun memiliki "ongkos" tersendiri, yang menjelaskan mengapa Undang-Undang Perampasan Aset tidak kunjung dibahas oleh DPR.

Dalam konteks ketidakberdayaan infrastruktur politik dan tiadanya oposisi institusional yang efektif, peran Mahfud MD menjadi sangat penting. Di tengah sistem presidensial multipartai yang ada, lembaga oposisi seperti DPR, partai politik, dan organisasi masyarakat sipil (ormas) seringkali tidak berdaya karena telah dikooptasi oleh kekuasaan atau ikut menikmati keuntungan dari kekuasaan. DPR dan partai-partai politik kehilangan fungsi pengawasan karena terlibat dalam lingkaran kekuasaan (executive aggrandizement). Dalam situasi seperti ini, muncul ruang kosong bagi oposisi yang tidak dilembagakan.

Mahfud MD, dengan kredibilitas hukum, rekam jejak reformasi, dan otoritas moral yang dimilikinya, tampil sebagai aktor soliter yang melakukan koreksi terhadap kekuasaan. Ia tidak mewakili partai politik atau menjadi pemimpin oposisi formal, namun suaranya mampu menggugah publik dan mengganggu kenyamanan kekuasaan.

Menuju Oposisi Masyarakat Sipil

Kaum intelektual yang masih memiliki kepedulian terhadap negara perlu bersatu untuk menyusun peta jalan perbaikan dan mengembangkan "oposisi individual" menjadi "oposisi masyarakat sipil" yang lebih kuat dan terstruktur.