Sengketa Ijazah Jokowi Berlanjut, Penggugat Desak Keterbukaan di Pengadilan

Sidang mediasi terkait gugatan dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Presiden Joko Widodo memasuki babak baru. Muhammad Taufiq, perwakilan dari kelompok yang menamakan diri "Ijazah Palsu Usaha Gakpunya Malu (Tipu UGM)", bersikeras agar ijazah Presiden Jokowi diperlihatkan secara terbuka kepada publik.

Tuntutan ini disampaikan usai sidang mediasi yang berlangsung di Pengadilan Negeri Solo pada Rabu, 30 April 2025. Taufiq menjelaskan bahwa pihak tergugat, yang meliputi Presiden Jokowi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo, SMA Negeri 6 Surakarta, dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menolak untuk menunjukkan ijazah dengan alasan डेटा tersebut bersifat pribadi.

Namun, Taufiq berargumen bahwa penolakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Menurutnya, informasi yang boleh dirahasiakan adalah informasi yang dapat mengganggu kepentingan umum, melindungi hak atas kekayaan intelektual (seperti hak paten), atau membahayakan pertahanan dan keamanan negara. Taufiq mempertanyakan dasar kerahasiaan ijazah tersebut, dengan mencontohkan bahwa skripsi mahasiswa pun lazimnya dipublikasikan dan dapat diakses di perpustakaan.

Mediasi perkara dengan nomor registrasi 99/Pdt.G/2025/PN Skt ini dipimpin oleh Profesor Adi Sulistiyono, Guru Besar bidang Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, yang bertindak sebagai mediator non-hakim dari PN Solo. Kuasa Hukum Irpan mewakili Tergugat I, yakni Presiden Jokowi.

Taufiq menegaskan komitmennya untuk melanjutkan gugatan ini. Sebelumnya, pihak Presiden Jokowi melalui kuasa hukumnya, Irpan, telah menyampaikan tiga alasan utama penolakan untuk membuka डेटा ijazah dalam proses mediasi.

  • Pertama, penggugat dianggap tidak memiliki legal standing untuk mengajukan tuntutan terkait masalah ini.
  • Kedua, Presiden Jokowi berpendapat bahwa setiap individu berhak atas perlindungan privasi, termasuk डेटा pribadi dan keluarga, yang dijamin oleh hak asasi manusia.
  • Ketiga, prinsip Hak Asasi Manusia menjamin bahwa tidak seorang pun boleh dipaksa untuk mengungkapkan urusan pribadi atau डेटा korespondensi tanpa alasan yang sah.

Dengan demikian, proses hukum terkait sengketa ijazah Presiden Jokowi masih akan berlanjut, dengan fokus pada perdebatan mengenai keterbukaan informasi publik dan hak privasi individu.