Ketimpangan PAD Daerah Disorot DPR: Gubernur Kepri Dibandingkan dengan DKI Jakarta

Komisi II DPR RI menyoroti disparitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mencolok antarprovinsi di Indonesia, terutama antara wilayah di Jawa dan luar Jawa. Sorotan tajam ini mengemuka dalam rapat kerja antara Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri, dan sejumlah kepala daerah di Gedung DPR RI, Jakarta.

Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, secara implisit menyindir Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Ansar Ahmad. Rifqinizamy mengomentari kesamaan atribut dan jabatan Ansar Ahmad dengan Gubernur DKI Jakarta, namun dengan perbedaan signifikan dalam hal kekuatan fiskal daerah masing-masing.

"Gubernur Ansar (Kepulauan Riau) dan Gubernur Jakarta, secara jabatan sama, namun angka PAD-nya sangat berbeda," ungkap Rifqinizamy, menggarisbawahi ketidakseimbangan fiskal yang ada.

Rifqinizamy mencontohkan, ketergantungan fiskal DKI Jakarta terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya 29 persen. Namun, angka tersebut setara dengan Rp 26 triliun. Jumlah ini, menurutnya, setara dengan total PAD tiga provinsi di luar Jawa.

Komisi II DPR RI sengaja mengundang para gubernur dan pejabat Kementerian Dalam Negeri dalam rapat kerja tersebut untuk menyusun formula pendanaan yang lebih adil dan representatif terhadap keberagaman antardaerah. Rifqinizamy mengusulkan perlunya terminologi "merdeka fiskal" bagi provinsi yang memiliki kemampuan PAD yang memadai untuk pembangunan daerahnya.

"Kita perlu susun formula yang lebih berkeadilan, berkebhinekaan. Kira-kira bisa enggak kita buat terminologi beberapa provinsi itu ‘merdeka fiskal’? Karena nyatanya, dengan PAD-nya, kalau kita exercise APBD-nya, itu cukup kok untuk pembangunan," jelasnya.

Rifqinizamy berpendapat, jika provinsi dengan kondisi fiskal yang kuat dapat mengurangi ketergantungan pada APBN, maka dana dari pusat dapat dialokasikan untuk membantu daerah-daerah dengan PAD rendah. Dengan demikian, alokasi anggaran dapat lebih merata dan tepat sasaran.

Sebelumnya, Rifqinizamy mengungkapkan, hanya empat daerah yang tidak bergantung pada dana transfer pusat atau APBN. Data ini mengemuka saat membahas minimnya wilayah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di atas 60 persen.

"Hanya beberapa daerah yang PAD-nya di atas 60 persen, (yakni) Banten, Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sisanya dalam posisi tengah," ujarnya.

Komisi II DPR RI mengkategorikan wilayah dengan ketergantungan tinggi terhadap APBN berdasarkan capaian PAD-nya. Provinsi maupun kabupaten/kota dengan PAD di bawah 40 persen dianggap masih bergantung pada dana transfer pusat ke daerah.

"Kita tahu lebih dari 70 persen daerah di Indonesia, baik provinsi maupun kabupaten/kota, ketergantungan terhadap APBN-nya tinggi. Kami menganggap ketergantungan tinggi kalau PAD-nya di bawah 40 persen," jelas Rifqinizamy.

Dia menambahkan, masih ada daerah yang PAD-nya di bawah 10 persen, sehingga banyak daerah mengajukan penambahan dana transfer dari pusat ke daerah untuk tahun berikutnya. Oleh karena itu, rapat kerja ini diharapkan dapat menghasilkan solusi bagi daerah untuk meningkatkan PAD dan mengurangi beban pada APBN.

"Yang paling penting ini menjadi koreksi kita bersama dan upaya kita bersama yang PAD-nya di bawah 10 persen. Ada yang cuma 4 persen, ada yang cuma 5 persen, ada yang 6 persen. Itu artinya ketergantungan APBN-nya sangat tinggi," pungkasnya.

Berikut adalah beberapa poin penting yang dibahas dalam rapat tersebut:

  • Ketimpangan PAD: Perbedaan signifikan PAD antarprovinsi, khususnya antara Jawa dan luar Jawa.
  • Ketergantungan APBN: Lebih dari 70% daerah di Indonesia masih sangat bergantung pada APBN.
  • Formula Pendanaan: Perlunya formula pendanaan yang lebih adil dan representatif terhadap keberagaman antardaerah.
  • Merdeka Fiskal: Usulan terminologi "merdeka fiskal" bagi provinsi yang memiliki kemampuan PAD yang memadai.
  • Alokasi Anggaran: Pentingnya alokasi anggaran yang lebih merata dan tepat sasaran untuk membantu daerah dengan PAD rendah.

Dengan adanya sorotan dari DPR dan pembahasan bersama antara pemerintah pusat dan daerah, diharapkan dapat ditemukan solusi untuk mengatasi ketimpangan fiskal dan meningkatkan kemandirian daerah dalam pembiayaan pembangunan.