UII Yogyakarta: Kritik Keras terhadap Krisis Keteladanan dan Kemunduran Demokrasi di Indonesia
UII Yogyakarta: Kritik Keras terhadap Krisis Keteladanan dan Kemunduran Demokrasi di Indonesia
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta melontarkan kritik tajam terhadap situasi politik dan pemerintahan di Indonesia. Dalam sebuah pernyataan sikap yang tegas, UII menyoroti krisis keteladanan di kalangan elite politik dan pemerintahan serta kemunduran demokrasi yang semakin mengkhawatirkan. Pernyataan ini dikeluarkan sebagai respon terhadap berbagai permasalahan yang tengah melanda bangsa, mulai dari praktik politik transaksional hingga minimnya akuntabilitas publik.
Rektor UII, Dr. Fathul Wahid, menyatakan keprihatinannya atas kondisi tersebut. Menurutnya, partai politik saat ini cenderung kehilangan daya untuk bertindak dan menjadi alat bagi kepentingan oligarki. Ia menggambarkan situasi ini sebagai ‘tintrim’, sebuah kondisi di antara harapan dan kecemasan, di mana ketidakpastian membayangi namun harapan tetap ada. Observasi ini diperkuat oleh temuan adanya indikasi praktik politik transaksional yang melibatkan sejumlah pejabat pemerintahan dan kader partai, yang sumber dananya bukan dari APBN. Praktik ini, yang dianggap sebagai bentuk ‘Narik Kawan-kawan’ (NKK), merupakan manifestasi dari prinsip politik Laswellian “who gets what, when, and how”, di mana kekuasaan digunakan untuk berbagi keuntungan bagi pendukung elite. Fenomena ini bukan hanya terbatas di satu kementerian, tetapi menyebar di beberapa kementerian lain.
UII juga menyoroti tren kemunduran demokrasi di Indonesia, yang ditandai oleh semakin terbatasnya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Meningkatnya kasus intimidasi, ancaman kriminalisasi, dan pembungkaman terhadap aktivis, seniman, akademisi, dan jurnalis menjadi bukti nyata dari tren ini. Hal ini senada dengan temuan para ahli politik seperti David Ziblatt, Stefen Letwisky, Nancy Bermeo, dan Thomas Power. Kondisi ini diperparah dengan situasi kampus yang turut terjerat dalam industrialisasi pendidikan yang mengabaikan etika.
Menanggapi kondisi tersebut, UII Yogyakarta mengeluarkan seruan yang berisi enam poin penting:
- Mendesak pemerintah untuk membuka ruang demokrasi yang lebih luas dengan menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi serta melindungi aktivis, seniman, akademisi, dan jurnalis dari intimidasi dan ancaman kriminalisasi.
- Menuntut pemerintah untuk lebih sensitif dan responsif terhadap kebutuhan rakyat dengan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada data yang valid dan pendekatan ilmiah untuk menjamin akurasi, relevansi, dan tepat sasaran.
- Meminta pemerintah untuk serius dalam melakukan pemberantasan korupsi dengan memastikan penegakan hukum yang tegas, transparan, dan tidak pandang bulu, di samping juga memperkuat peran lembaga antikorupsi, meningkatkan pengawasan anggaran, serta berhenti membuat kesan mengembangkan narasi yang menutupi atau mengaburkan praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
- Menyeru pemerintah untuk menjamin bahwa efisiensi harus berlandaskan transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada kepentingan masyarakat luas tanpa mengorbankan kualitas pelayanan publik dan program sosial yang berdampak langsung pada rakyat.
- Mengingatkan pejabat negara untuk menjadi teladan dengan menjaga tutur kata, sikap, tindakan, dan gaya hidup yang tuna empati untuk mengedukasi publik dan sekaligus dalam rangka membangun kepercayaan rakyat.
- Mengajak masyarakat sipil dan elemen bangsa lainnya untuk tidak apatis dengan terus berperan aktif dalam mengawasi kebijakan pemerintah dan mengkritisi secara konstruktif demi menciptakan pemerintah yang lebih responsif, adil, dan berpihak pada kepentingan rakyat, serta mewujudkan demokrasi yang sehat.
Pernyataan sikap UII Yogyakarta ini menjadi bukti bahwa kampus memiliki peran penting dalam mengawal demokrasi dan memberikan kontrol sosial. Suara lantang dari Yogyakarta ini menjadi pertanyaan besar: akankah suara tersebut didengar dan direspon dengan serius oleh pemerintah dan seluruh elemen bangsa?