Bayang-Bayang Perang Vietnam: Trauma dan Rekonsiliasi Setengah Abad Kemudian

Setengah Abad Pasca-Perang Vietnam: Jejak Luka dan Upaya Rekonsiliasi

Perang Vietnam, sebuah konflik monumental yang merentang dari tahun 1955 hingga 1975, tidak hanya menandai salah satu pertempuran terpanjang dalam sejarah modern, tetapi juga meninggalkan warisan mendalam yang terus bergema hingga hari ini. Lebih dari sekadar catatan sejarah, perang ini mengukir luka psikologis dan sosial yang dalam, baik bagi para veteran maupun masyarakat Vietnam secara keseluruhan. Lima puluh tahun setelah berakhirnya perang, upaya rekonsiliasi dan pengakuan terhadap trauma masih menjadi tantangan yang kompleks.

Konflik yang merenggut jutaan nyawa ini, diakhiri dengan jatuhnya Vietnam Selatan ke tangan pasukan komunis. Profesor Jose Brunner dari Universitas Tel Aviv menyoroti pentingnya memahami dampak psikologis jangka panjang perang, terutama bagi mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran. Sindrom pasca-Vietnam, yang kini dikenal sebagai PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), pertama kali diidentifikasi pada tahun 1972 oleh psikiater Chaim F. Shatan. Ia menggambarkan bagaimana para veteran menderita rasa bersalah, keterasingan, dan kesulitan dalam menjalin hubungan emosional. Pengakuan resmi terhadap PTSD oleh Asosiasi Psikiatri Amerika pada tahun 1980-an menjadi tonggak penting dalam memahami dampak psikologis perang.

Trauma yang Tersembunyi dan Narasi yang Terkendali

Studi yang dilakukan pada tahun 1983 menunjukkan bahwa 15% veteran Vietnam di Amerika Serikat menderita PTSD, dan penelitian lanjutan 40 tahun kemudian menemukan bahwa satu dari lima veteran masih mengalami kondisi ini. Di Vietnam, situasinya lebih kompleks. Sejarawan Vietnam, Martin Groheim, berpendapat bahwa jumlah tentara Vietnam yang menderita trauma sangat besar, tetapi masalah ini jarang dibicarakan secara terbuka. Partai Komunis Vietnam (KPV) memegang kendali penuh atas narasi perang, sehingga masalah psikologis tidak mendapat tempat dalam gambaran heroisme perjuangan melawan imperialisme.

Namun, penyangkalan terhadap trauma tidak menghapusnya. Novel "The Sorrow of War" karya Bao Ninh, seorang penulis dan mantan tentara Vietnam, menggambarkan penderitaan seorang tentara yang dihantui oleh kenangan perang. Novel ini sempat dilarang, mencerminkan bagaimana dampak psikologis perang dipandang di Vietnam. Brunner menekankan bahwa pemulihan trauma bukan hanya soal terapi individu, tetapi juga melibatkan seluruh masyarakat. Cara masyarakat berinteraksi dengan sejarah perang, melalui ritual mengenang, narasi populer, rekonsiliasi, dan pengakuan terhadap penderitaan mental dan fisik para prajurit, sangat memengaruhi proses penyembuhan.

Rekonsiliasi yang Belum Sempurna

Peringatan 50 tahun berakhirnya perang di Vietnam diwarnai dengan parade dan pidato politik yang dikendalikan oleh KPV. Partai tersebut menggunakan momentum ini untuk memperkuat citra mereka sebagai pahlawan bangsa, sambil mempromosikan keberhasilan reformasi ekonomi. Namun, rekonsiliasi masih menjadi proses yang belum sempurna. Sementara warga Amerika diterima kembali dengan tangan terbuka, penyatuan kembali dengan mantan musuh dari Vietnam Selatan masih menjadi isu sensitif. Pemakaman tentara Vietnam Selatan sempat diabaikan, dan keluarga mereka tidak diizinkan untuk merawatnya. Baru pada tahun 2007, pemerintah Vietnam membuka kembali akses ke pemakaman tersebut, sebuah langkah penting menuju rekonsiliasi nasional. Langkah selanjutnya adalah mengizinkan keluarga korban perang untuk mencari sisa-sisa jenazah tentara Vietnam Selatan yang hilang.

Di tanah yang kaya akan tradisi dan kepercayaan leluhur, banyak yang meyakini bahwa hanya dengan pemakaman yang layak, arwah para prajurit dapat menemukan kedamaian abadi. Warisan Perang Vietnam terus menghantui, mengingatkan kita akan pentingnya mengakui dan mengatasi luka psikologis dan sosial yang ditinggalkannya, serta mendorong rekonsiliasi yang sejati dan inklusif.