Psikolog Soroti Tren 'Cookie Share Challenge': Mengukur Empati Anak Lewat Media Sosial, Bijakkah?

Polemik 'Cookie Share Challenge': Mengukur Empati Anak di Era Digital

Di tengah maraknya penggunaan media sosial, muncul berbagai tren yang melibatkan anak-anak, salah satunya adalah 'cookie share challenge'. Tantangan ini, yang viral di berbagai platform, diklaim sebagai cara untuk mengukur empati dan kemampuan berbagi anak, khususnya terhadap orang tua mereka. Namun, metode ini menuai sorotan dari para ahli psikologi.

'Cookie share challenge' umumnya dilakukan dengan menempatkan sejumlah kue di atas piring, sebagian ditutup kain atau tisu. Anak kemudian diperlihatkan bahwa dirinya mendapatkan dua kue, sementara salah satu orang tuanya tidak mendapatkan kue sama sekali. Reaksi anak terhadap situasi ini direkam dan diunggah ke media sosial. Tujuannya, menurut klaim yang beredar, adalah untuk melihat apakah anak akan berbagi kue yang dimilikinya atau justru menyimpannya sendiri.

Anggi Gracia Sigalingging, seorang psikolog pendidikan dan konselor TK-SD di Sekolah Cikal Lebak Bulus, menekankan bahwa mengukur empati anak tidak bisa dilakukan hanya melalui satu tantangan atau situasi tertentu. Menurutnya, reaksi anak dalam satu kondisi tidak dapat digeneralisasi sebagai gambaran utuh dari karakter anak secara keseluruhan. Apalagi, konten tersebut direkam dan disebarkan di media sosial.

"Empati dan kebaikan hati anak tidak bisa diukur hanya melalui satu situasi atau tantangan semacam ini saja. Respon anak dalam satu kondisi belum tentu mencerminkan keseluruhan karakter atau menjadi sebuah penilaian yang menyeluruh terhadap anak," ujarnya.

Anggi menyarankan agar orang tua tidak menjadikan 'cookie share challenge' sebagai satu-satunya tolok ukur untuk menilai empati anak. Ia juga mengingatkan dampak negatif yang mungkin timbul akibat merekam dan membagikan video anak di media sosial. Alih-alih membuat konten tantangan, Anggi menyarankan agar orang tua menjadikan situasi tersebut sebagai bahan diskusi reflektif dengan anak.

Refleksi Diri Lebih Efektif

Orang tua dapat mengajak anak berdiskusi tentang apa yang akan mereka lakukan jika berada dalam situasi serupa. Diskusi dapat dimulai dengan refleksi diri dari orang tua, yang menyampaikan sudut pandang mereka dalam bentuk pernyataan positif dan memberikan contoh yang baik bagi anak.

"Contohnya, 'Kalau Mama punya dua kue, sepertinya Mama akan berbagi dengan orang yang belum punya makanan, karena Mama senang berbagi dan makan bersama itu menyenangkan', Dengan pendekatan seperti ini, anak dapat memahami nilai empati dan berbagi dari pengalaman dan perspektif orang tua," jelas Anggi.

Lebih lanjut, Anggi menjelaskan bahwa anak usia dini masih berada dalam tahap perkembangan kognitif awal dan belum sepenuhnya memahami sudut pandang orang lain. Oleh karena itu, peran orang tua sangat penting dalam membantu anak memahami dan mengembangkan empati. Bimbingan dari orang tua atau guru diperlukan untuk membantu anak memahami cara berempati dan menunjukkan perilaku yang sesuai dengan lingkungan sosialnya.

"Penting untuk diingat bahwa satu reaksi anak dalam satu kondisi tertentu tidak bisa dijadikan sebagai gambaran utuh dari karakter atau nilai-nilai yang dimiliki anak secara keseluruhan," pungkas Anggi. Dengan demikian, 'cookie share challenge' sebaiknya tidak dilihat sebagai alat ukur yang valid, melainkan sebagai kesempatan untuk menumbuhkan empati anak melalui diskusi dan contoh yang baik dari orang tua.

  • Diskusi dan Refleksi: Alih-alih merekam dan membagikan tantangan, fokus pada diskusi yang membangun dengan anak.
  • Contoh dari Orang Tua: Berikan contoh nyata tentang bagaimana berbagi dan berempati dalam kehidupan sehari-hari.
  • Pemahaman Bertahap: Ingatlah bahwa anak usia dini masih dalam proses belajar memahami perspektif orang lain.