Sengketa Lahan di Bantul: Seorang Warga Senior Diduga Jadi Korban Praktik Mafia Tanah

Kasus dugaan praktik mafia tanah kembali mencuat di Daerah Istimewa Yogyakarta, kali ini menimpa seorang warga senior bernama Mbah Tupon (68) yang berdomisili di Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Mbah Tupon terancam kehilangan tanah seluas 1.655 meter persegi berikut bangunan di atasnya yang terdiri dari dua rumah. Ironisnya, sertifikat tanah yang selama ini ia yakini miliknya, tiba-tiba diketahui telah beralih nama. Dugaan kuat mengarah pada praktik mafia tanah yang memanfaatkan ketidaktahuan dan keterbatasan Mbah Tupon.

Peristiwa ini bermula ketika Mbah Tupon beberapa kali diminta untuk menandatangani sejumlah dokumen oleh pihak yang tidak ia kenal dengan baik. Mbah Tupon yang tidak bisa membaca, dengan polosnya menandatangani dokumen-dokumen tersebut karena percaya bahwa dokumen tersebut berkaitan dengan pembagian warisan tanah kepada anak-anaknya kelak. Ia tidak pernah diberi tahu isi dari dokumen yang ia tandatangani. Bahkan, proses penandatanganan tidak hanya dilakukan di rumahnya, tetapi juga di tempat-tempat asing seperti Janti dan Krapyak. Setelah menandatangani, ia langsung disuruh pulang tanpa penjelasan lebih lanjut.

Kejanggalan semakin terasa ketika Mbah Tupon mendengar kabar bahwa tanah dan rumahnya akan dilelang. Padahal, ia tidak pernah merasa menjual tanah tersebut. Ketua RT setempat, Agil Dwi Raharjo, membenarkan bahwa Mbah Tupon memang meminta pertolongan setelah mendengar kabar lelang tersebut. Beberapa tahun sebelumnya, Mbah Tupon memang pernah menjual sebagian kecil tanahnya seluas 298 meter persegi. Namun, sisa tanah seluas 1.655 meter persegi seharusnya tetap atas namanya. Karena percaya pada pembeli tanah yang sebagian itu, Mbah Tupon menyerahkan sertifikat tanah yang tersisa untuk membantu proses pemecahan tanah bagi ahli waris.

Belakangan diketahui bahwa sertifikat tanah tersebut telah berpindah tangan berkali-kali hingga akhirnya atas nama seseorang bernama Indah Fatmawati. Hal ini tentu saja membuat Mbah Tupon dan warga sekitar terkejut dan merasa geram. Masyarakat dan tokoh kampung kemudian bergerak memberikan dukungan moral kepada Mbah Tupon. Mereka menggelar doa bersama dan aksi damai sebagai bentuk solidaritas agar Mbah Tupon dan keluarganya tidak merasa berjuang sendirian.

Beruntung, setelah dua kali proses lelang gagal karena tidak ada peminat, pihak PNM dan ATR/BPN memberikan komitmen untuk mengembalikan sertifikat tanah tersebut kepada Mbah Tupon. Namun, kasus ini tidak berhenti sampai di situ. Anak Mbah Tupon telah melaporkan peristiwa ini ke Polda DIY. Polisi telah melakukan penyelidikan dan meminta keterangan dari beberapa saksi, termasuk Mbah Tupon dan istrinya.

Kejadian ini meninggalkan trauma mendalam bagi Mbah Tupon. Ia menjadi sangat takut setiap kali diminta untuk menandatangani sesuatu. Menurut penuturan Ketua RT, Mbah Tupon akan langsung bingung dan bertanya berkali-kali meskipun sudah dijelaskan maksud dari dokumen tersebut. Di tengah masalah besar yang menimpanya, Mbah Tupon tetap berusaha menjalani hidupnya dengan sederhana sebagai petani dan pembuat batu bata. Ia memiliki tiga orang anak yang sudah bekerja dan menjadi sumber kekuatannya untuk tetap tegar menghadapi cobaan ini.

Berikut poin-poin penting dalam kasus ini:

  • Awal Mula Masalah: Penandatanganan dokumen tanpa mengetahui isinya.
  • Lokasi Penandatanganan: Tidak hanya di rumah, tetapi juga di tempat asing.
  • Ancaman Lelang: Mbah Tupon terkejut mendengar kabar tanahnya akan dilelang.
  • Riwayat Penjualan Tanah: Pernah menjual sebagian kecil tanah sebelumnya.
  • Perpindahan Sertifikat: Sertifikat berpindah tangan berkali-kali.
  • Dukungan Warga: Masyarakat memberikan dukungan moral kepada Mbah Tupon.
  • Komitmen Pengembalian Sertifikat: Pihak terkait berjanji mengembalikan sertifikat.
  • Penyelidikan Polisi: Kasus ini sedang diusut oleh Polda DIY.
  • Trauma: Mbah Tupon mengalami trauma akibat kejadian ini.
  • Kehidupan Sederhana: Mbah Tupon tetap menjalani hidup sebagai petani.