Keracunan Massal dan Erosi Kepercayaan: Evaluasi Kritis Program Makan Bergizi Sekolah
Program makan bergizi (MBG) di sekolah, yang digadang-gadang sebagai solusi komprehensif untuk masalah kesehatan, keadilan sosial, dan kepercayaan, kini menghadapi tantangan serius. Alih-alih menjadi pilar kesejahteraan anak-anak, program ini justru diwarnai insiden keracunan massal yang menggerogoti kepercayaan publik dan menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kesiapan implementasi serta pengawasan yang efektif. Idealnya, MBG dirancang untuk memerangi kelaparan, meningkatkan prestasi belajar, dan membangun sumber daya manusia sejak dini. Namun, realitas di lapangan berkata lain.
Gelombang kasus keracunan makanan di berbagai daerah seperti Cianjur, Nganjuk, Bantul, dan Sukoharjo menjadi preseden buruk. Laporan gejala yang seragam, mulai dari muntah, pusing, hingga diare, ditambah keluhan tentang rasa dan bau makanan yang tidak sedap, mengindikasikan masalah yang lebih dalam dari sekadar kesalahan logistik. Ini adalah indikasi kegagalan sistemik yang memperlihatkan jurang lebar antara ambisi kebijakan dan kesiapan infrastruktur serta protokol keselamatan yang memadai.
Keamanan Pangan Terabaikan
Dari perspektif kesehatan masyarakat, keracunan makanan seharusnya menjadi insiden yang paling mudah dicegah. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara tegas menyatakan bahwa keamanan pangan adalah fondasi utama kesehatan anak, terutama dalam lingkungan pendidikan. Indonesia sebenarnya memiliki kerangka regulasi yang cukup, seperti Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011, yang mengatur suhu penyimpanan makanan siap saji. Makanan dingin harus disimpan di bawah 5 derajat Celcius, sementara makanan panas di atas 60 derajat Celcius. Rentang suhu 5-60 derajat Celcius dianggap sebagai "zona bahaya" karena menjadi tempat ideal bagi pertumbuhan bakteri patogen seperti Salmonella, E. coli, dan Listeria.
Namun, implementasi di lapangan seringkali jauh dari standar yang ditetapkan. Banyak penyedia katering yang belum tersertifikasi, distribusi dilakukan tanpa peralatan pendingin yang memadai, dan makanan sering tiba di sekolah jauh sebelum waktu makan. Studi yang dipublikasikan dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia (2022) mengungkapkan bahwa sekitar 32% penyedia makanan sekolah di Jawa tidak memenuhi standar sanitasi dan higiene dasar. Pelanggaran umum meliputi kurangnya pelatihan bagi penjamah makanan, tidak adanya sistem pencatatan suhu, dan penyimpanan makanan yang tidak layak.
Lebih dari Sekadar Kebijakan Populis
Program makan bergizi gratis bukanlah ide yang buruk. Bahkan, sejalan dengan komitmen global Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya Tujuan 2 (Tanpa Kelaparan) dan Tujuan 3 (Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan). Namun, pelaksanaannya saat ini lebih mencerminkan kebijakan populis yang terburu-buru diluncurkan tanpa persiapan sistemik yang memadai.
Sebagai perbandingan, program PNAE di Brasil, yang diakui sebagai salah satu sistem makan sekolah terbaik di dunia, mewajibkan penggunaan minimal 30% bahan pangan lokal, melibatkan ahli gizi di setiap tahap, dan memiliki sistem audit berkala yang melibatkan komunitas sekolah. Di Jepang, sistem shokuiku tidak hanya menyediakan makanan sehat, tetapi juga memberikan pendidikan gizi, kebersihan, dan menumbuhkan keterlibatan emosional anak dalam proses makan.
Model yang diterapkan di Indonesia cenderung mengandalkan vendor pihak ketiga dengan pengawasan yang lemah, tanpa audit publik, dan kurangnya integrasi lintas sektor. Menu seringkali tidak disusun oleh ahli gizi, vendor belum tentu memiliki sertifikasi yang sesuai, dan proses distribusi tidak terdokumentasi dengan baik. Dalam banyak kasus, keberhasilan program hanya diukur dari jumlah anak yang diberi makan, bukan dari keamanan, kesehatan, dan kelayakan makanan yang disajikan.
Dampak Psikososial yang Signifikan
Kerusakan yang ditimbulkan tidak hanya bersifat biologis, tetapi juga psikososial. Setelah insiden keracunan, banyak siswa menolak makan siang dari sekolah. Guru merasa tidak nyaman saat membagikan makanan, dan orang tua kembali menyiapkan bekal karena hilangnya kepercayaan. Pengalaman negatif di masa kanak-kanak, terutama yang berkaitan dengan institusi yang seharusnya memberikan perlindungan, dapat menimbulkan trauma jangka panjang. Makanan, yang seharusnya menjadi simbol kasih sayang dan keamanan, justru menjadi sumber kecemasan.
Dampaknya bisa meluas, termasuk gangguan makan selektif, ketakutan terhadap makanan yang disediakan orang lain, dan ketidakpercayaan terhadap layanan negara secara umum. Ini bukan hanya ketakutan anak-anak, tetapi juga luka kolektif yang muncul ketika negara gagal dalam memberikan bentuk kepedulian yang paling mendasar: memberi makan.
Membangun Kembali Kepercayaan
Memperbaiki program ini memerlukan lebih dari sekadar penggantian menu atau permintaan maaf. Diperlukan perombakan menyeluruh dalam cara negara merancang, mengelola, dan mengawasi layanan publik yang menyangkut hajat hidup anak-anak. Langkah-langkah minimum yang harus segera diambil meliputi:
- Sertifikasi nasional wajib bagi seluruh vendor makanan sekolah
- Pemantauan suhu distribusi secara digital dan dapat diakses publik
- Keterlibatan ahli gizi dalam penyusunan dan pengawasan menu
- Skema audit partisipatif yang melibatkan guru, orang tua, dan siswa
- Indikator keberhasilan program yang berbasis kualitas dan keamanan, bukan hanya kuantitas penerima
Perbaikan ini bukan hanya soal kebijakan pangan, tetapi juga tentang sejauh mana negara dapat diandalkan dalam melindungi warganya. Bukan hanya dalam kampanye, tetapi dalam kehidupan sehari-hari. Makan siang di sekolah seharusnya menjadi wujud kepedulian negara yang paling sederhana: hadir melalui nasi hangat, sayur yang layak, dan lauk yang aman. Ketika hal ini gagal, maka yang terdampak bukan hanya perut anak-anak, tetapi juga kontrak sosial yang menjadi dasar kepercayaan mereka terhadap negara.