Okupansi Hotel di Bali Menurun di Tengah Lonjakan Wisatawan: PHRI Ungkap Akar Permasalahan

Bali Hadapi Tantangan Akomodasi Ilegal di Tengah Geliat Pariwisata

Peningkatan kunjungan wisatawan ke Bali ternyata tidak serta merta berbanding lurus dengan tingkat hunian hotel. Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali menyoroti adanya disparitas antara jumlah wisatawan yang meningkat dengan okupansi hotel yang justru mengalami penurunan.

Menurut data yang dihimpun, rata-rata tingkat hunian hotel di Bali pada awal tahun 2025 mengalami penurunan signifikan, berkisar antara 10 hingga 20 persen dari angka normal yang biasanya berada di kisaran 60 hingga 70 persen. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, mengingat Bali memiliki sekitar 150 ribu kamar hotel yang seharusnya terisi.

Sekretaris Jenderal PHRI Bali, Perry Marcus, mengungkapkan bahwa penurunan okupansi ini diduga kuat disebabkan oleh maraknya akomodasi ilegal yang beroperasi tanpa izin. Akomodasi ilegal ini meliputi rumah-rumah yang disulap menjadi hotel atau vila tanpa memenuhi standar dan perizinan yang berlaku, serta tidak berkontribusi pada pendapatan daerah melalui pembayaran pajak.

Kecurigaan ini muncul ketika PHRI mengamati adanya peningkatan signifikan dalam jumlah wisatawan yang datang ke Bali, namun tidak diikuti dengan peningkatan yang sepadan dalam tingkat hunian hotel. Setelah melakukan penelusuran lebih lanjut, ditemukan bahwa sebagian besar wisatawan memilih untuk menginap di akomodasi ilegal.

Perry menjelaskan bahwa PHRI telah lama mengawasi fenomena ini, bahkan sejak 15 tahun yang lalu. PHRI telah berulang kali mengingatkan akan ancaman serius yang ditimbulkan oleh akomodasi ilegal terhadap industri perhotelan resmi di Bali. Praktik ini sangat merugikan karena menyebabkan penurunan okupansi hotel, memaksa hotel-hotel untuk menurunkan harga secara drastis demi mempertahankan kelangsungan bisnis mereka.

Banyak wisatawan memilih akomodasi ilegal karena berbagai faktor, termasuk kedekatan dengan pemilik akomodasi yang mungkin merupakan teman atau kenalan. Selain itu, akomodasi ilegal seringkali menawarkan fasilitas yang tidak kalah mewah dibandingkan dengan hotel resmi, bahkan dalam beberapa aspek mungkin lebih unggul. Akomodasi ilegal juga menawarkan tingkat privasi yang lebih tinggi, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian wisatawan.

PHRI memperkirakan bahwa jumlah akomodasi ilegal di Bali mencapai ribuan unit. Akomodasi ini dimiliki oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang memanfaatkan nama lokal untuk beroperasi. PHRI menekankan bahwa masalah ini harus segera ditangani secara serius. Jika tidak, alih fungsi lahan akan terus meluas, mengancam keberadaan sawah dan lahan pertanian di Bali, serta mengurangi pendapatan pajak daerah secara signifikan.

"Dampak negatifnya sangat luas. Ini harus segera diatasi," tegas Perry.

Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata, Rizki Handayani Mustafa, menyatakan bahwa pihaknya tengah melakukan kajian mendalam untuk mengetahui jumlah pasti akomodasi ilegal yang beroperasi di Bali. Ia menekankan pentingnya memiliki data yang akurat sebelum mengambil tindakan lebih lanjut.

"Tujuan pertemuan ini adalah untuk mencapai kesepakatan bersama antara pemerintah dan semua pihak terkait, yang tentunya harus didasarkan pada data yang valid," ujarnya.

Rizki menegaskan bahwa Kementerian Pariwisata mendukung penuh upaya yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan pariwisata di Bali untuk menjaga kualitas dan keberlanjutan destinasi wisata tersebut.

Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Tjok Bagus Pemayun, menambahkan bahwa pemerintah provinsi telah membentuk tim pengawas akomodasi legal yang dipimpin langsung oleh Gubernur Bali, Wayan Koster.

"Kami sedang menyusun tugas dan mekanisme kerja tim tersebut. Kami mohon untuk menunggu hasil akhirnya," pungkasnya.