Sidang Korupsi Impor Gula: Hakim Pertanyakan Independensi PPI dalam Penunjukan Distributor oleh Kemendag

Hakim Tipikor Geram dengan Penunjukan Sepihak Distributor Gula oleh Kemendag

Sidang kasus dugaan korupsi impor gula yang menyeret mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, memasuki babak baru. Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Hakim Alfis Setiawan menunjukkan ketidakpuasannya atas peran Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam penunjukan perusahaan dan distributor gula. Kegeraman hakim ini muncul saat mendengarkan keterangan dari saksi Dayu Padmara Rengganis, mantan Direktur Utama PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).

Hakim Alfis mencecar Dayu terkait perintah dari staf khusus Tom Lembong, Gunaryo, yang menginstruksikan PT PPI untuk bekerja sama dengan delapan perusahaan yang telah ditunjuk oleh Tom Lembong untuk melakukan impor gula. Dayu mengungkapkan bahwa perintah tersebut disampaikan dalam sebuah rapat yang diselenggarakan atas arahan Tom Lembong.

Pertanyaan kemudian beralih ke sumber dana yang digunakan PT PPI untuk menjalin kerja sama dengan delapan perusahaan swasta tersebut, mengingat kondisi keuangan PT PPI yang kurang baik. Dayu menjelaskan bahwa Tim Gula PT PPI, yang dipimpin oleh Charles Sitorus, melaporkan adanya kesepakatan dengan delapan perusahaan importir, di mana dana operasional berasal dari uang muka (DP) yang disetor oleh para distributor yang akan menjual gula kristal putih (GKP). Skema bisnis ini melibatkan penggunaan dana PT PPI yang bersumber dari DP distributor untuk menjual GKP yang berasal dari gula kristal mentah (GKM) impor yang diolah oleh delapan perusahaan tersebut.

Dayu menambahkan, pada saat penandatanganan kontrak, sudah ada tujuh perusahaan yang ditunjuk sebagai distributor. Perusahaan-perusahaan ini bertugas mendistribusikan GKP yang berasal dari GKM impor yang diolah oleh delapan perusahaan swasta. Hakim Alfis kemudian mengonfirmasi alur tersebut, yang dibenarkan oleh Dayu.

Titik puncak kekecewaan Hakim Alfis terjadi ketika Dayu mengungkapkan bahwa Kemendag-lah yang menunjuk ketujuh perusahaan distributor tersebut saat rapat teknis dengan delapan perusahaan importir. Hakim Alfis mempertanyakan peran PT PPI, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dalam skema ini. Ia merasa heran mengapa Kemendag menentukan baik perusahaan importir maupun distributor, seolah-olah PT PPI hanya menjadi perantara.

"Luar biasa ini ya? 8 perusahaan ditentukan oleh Kemendag, kemudian 7 distributor juga ditentukan Kemendag. Apa tugas PPI di sini? Numpang lewat saja? PPI punya cabang tidak? Seluruh Indonesia?" tanya Hakim Alfis dengan nada tinggi.

Dayu menjelaskan bahwa PT PPI memiliki 33 cabang di seluruh Indonesia yang bertugas menjual produk-produk perusahaan, termasuk gula kristal putih. Hal ini semakin membuat Hakim Alfis heran mengapa PT PPI memilih bekerja sama dengan distributor swasta, padahal mereka memiliki jaringan distribusi sendiri yang luas atau bisa bekerja sama dengan Bulog. Hakim Alfis menduga bahwa kerja sama dengan distributor swasta akan menimbulkan biaya tambahan.

"Menggunakan distributor yang swasta, pasti ada beban biaya tambahannya. Kenapa sedemikian rupa ini? Luar biasa ini? Kenapa Bu? Ibu kan dirut? Apa yang dilaporkan? Kenapa alurnya seperti ini?" tanya Hakim Alfis.

Dayu hanya menjawab bahwa pihaknya hanya melaksanakan penugasan. Dalam perkara ini, Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ia didakwa melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya orang lain atau korporasi, dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 578 miliar. Jaksa penuntut umum menuding Tom Lembong menerbitkan kebijakan impor tanpa berkoordinasi dengan kementerian lain dan menunjuk koperasi, termasuk milik TNI dan Polri, untuk mengendalikan harga gula, alih-alih memberdayakan perusahaan BUMN.