Usulan Gencatan Senjata Rusia Dibalas Tuntutan Ukraina: Perpanjangan Hingga 30 Hari
Presiden Rusia, Vladimir Putin, baru-baru ini mendeklarasikan inisiatif gencatan senjata selama tiga hari yang dijadwalkan berlangsung dari tanggal 8 hingga 10 Mei. Langkah ini bertepatan dengan perayaan Hari Kemenangan Rusia dalam Perang Dunia II yang akan dipusatkan di Moskow.
Pengumuman ini segera mendapat tanggapan dari Menteri Luar Negeri Ukraina, Andriy Sybiga, melalui platform media sosial X. Sybiga mempertanyakan motif di balik penundaan gencatan senjata hingga bulan Mei. Ia berpendapat bahwa jika Rusia benar-benar berniat untuk mewujudkan perdamaian, seharusnya penghentian tembakan dilakukan segera, tanpa menunggu tanggal yang ditentukan.
Ukraina, melalui pernyataan resmi, menuntut gencatan senjata yang berlangsung setidaknya selama 30 hari. Tuntutan ini muncul sebagai tanggapan atas penolakan Putin sebelumnya terhadap usulan Amerika Serikat mengenai gencatan senjata penuh dan tanpa syarat selama periode yang sama, yang sebenarnya telah disetujui oleh pihak Ukraina.
Sejak dimulainya operasi militer di Ukraina pada Februari 2022, Rusia telah menguasai sebagian besar wilayah dari empat oblast Ukraina, yang kemudian diklaim sebagai bagian dari wilayahnya, selain Krimea yang telah dianeksasi pada tahun 2014. Klaim teritorial ini menjadi batu sandungan utama dalam negosiasi damai.
Pihak Rusia menyatakan keyakinannya bahwa Ukraina akan menyetujui proposal gencatan senjata terbaru ini. Namun, Moskow juga menegaskan bahwa jika terjadi pelanggaran terhadap gencatan senjata oleh pihak Ukraina, angkatan bersenjata Rusia akan memberikan respons yang dianggap proporsional dan efektif.
Kiev dan sekutu-sekutunya di Eropa menuduh Putin bahwa pengumuman gencatan senjata Paskah selama 30 jam sebelumnya hanyalah sebuah taktik dan bukan merupakan indikasi keinginan yang tulus untuk mencapai perdamaian. Terdapat kecurigaan yang mendalam terhadap niat Rusia, mengingat sejarah konflik dan aneksasi wilayah yang terus berlanjut.
Rusia sebelumnya mengklaim kesiapannya untuk bernegosiasi dengan Ukraina, namun dengan syarat bahwa klaim teritorialnya atas lima wilayah Ukraina, termasuk Krimea, diakui sebagai bagian dari penyelesaian konflik. Posisi ini dianggap tidak dapat diterima oleh Ukraina, yang menganggap aneksasi tersebut sebagai perampasan tanah ilegal dan menegaskan tidak akan pernah mengakuinya.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa meskipun ada seruan untuk gencatan senjata, perbedaan mendasar mengenai wilayah dan tujuan konflik tetap menjadi penghalang utama bagi tercapainya perdamaian yang berkelanjutan. Situasi di lapangan tetap tegang dan tidak pasti, dengan potensi eskalasi lebih lanjut jika gencatan senjata yang diusulkan dilanggar.