Kenaikan Tarif Tol Dipertanyakan: DPR Soroti Kerusakan Jalan dan Mendesak Audit Independen

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Komisi VII menyoroti rencana pemerintah untuk menaikkan tarif di 36 ruas jalan tol. Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekartono, secara tegas mendorong dilakukannya audit terbuka dan independen terhadap seluruh pengelola jalan tol sebelum kebijakan penyesuaian tarif diberlakukan.

Bambang Haryo menekankan bahwa audit ini krusial untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas kepada publik. Ia mengusulkan agar audit melibatkan berbagai pihak berkepentingan, termasuk konsumen jalan tol, perwakilan pemerintah, serta asosiasi transportasi. Dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, diharapkan hasil audit dapat memberikan gambaran yang komprehensif dan obyektif mengenai kondisi jalan tol secara keseluruhan.

Menurutnya, infrastruktur seperti jalan tol memiliki peran strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, tarif yang dikenakan seharusnya terjangkau namun tetap memungkinkan pemeliharaan jalan yang optimal. Ironisnya, banyak ruas jalan tol saat ini justru tidak memenuhi standar pelayanan minimum (SPM) yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Jalan Nomor 30 Tahun 2004.

Bambang Haryo menyoroti kondisi jalan tol yang memprihatinkan, seperti banyaknya lubang, permukaan yang bergelombang, hingga kerusakan parah di beberapa ruas, terutama di wilayah Sumatera. Padahal, regulasi telah menetapkan batasan yang jelas mengenai kualitas permukaan jalan tol, termasuk ambang batas gelombang dan larangan adanya keretakan. Ia menilai kondisi ini sebagai pelanggaran serius yang dapat membahayakan keselamatan pengguna jalan tol.

"Kondisi jalan tol yang tidak memenuhi standar keselamatan ini seharusnya menjadi dasar untuk menurunkan tarif, bukan malah menaikkannya," tegas Bambang.

Lebih lanjut, Bambang Haryo menyoroti perbandingan tarif tol di Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainnya. Ia mengkritik mahalnya tarif tol di Indonesia, yang menurutnya bisa mencapai tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia. Padahal, sebagian pembangunan jalan tol di Indonesia dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga seharusnya tarif yang dikenakan lebih rendah.

"Jika dibandingkan dengan Malaysia, tarif tol di Indonesia itu tiga kali lipat lebih mahal. Padahal pembangunan jalan tol sebagian dibiayai APBN, sehingga seharusnya tarifnya lebih murah," ungkap Bambang.

Ia juga berpendapat bahwa jalan tol yang sudah lama beroperasi seharusnya mengalami penurunan tarif, bukan justru kenaikan. Terlebih lagi, jika kondisi jalan sudah jauh dari standar keselamatan yang dipersyaratkan. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya evaluasi berkala terhadap tarif tol, dengan mempertimbangkan faktor usia jalan, biaya operasional, dan tingkat kepuasan pengguna.