Adu Argumen Soal Prioritas Ekonomi: Dedi Mulyadi dan Siswi SMA Berdebat tentang Wisuda dan Realitas Kemiskinan
Perdebatan Sengit: Dedi Mulyadi Soroti Prioritas Ekonomi di Tengah Polemik Acara Sekolah
Sebuah forum diskusi yang dipimpin oleh tokoh publik Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru-baru ini menjadi ajang perdebatan menarik antara dirinya dengan seorang siswi SMA bernama Aura Cinta. Pertemuan yang terekam dalam video dan diunggah di platform YouTube tersebut, memperlihatkan perbedaan pandangan terkait prioritas ekonomi keluarga dan urgensi acara perpisahan sekolah.
Aura, yang hadir bersama ibunya sebagai perwakilan warga terdampak penggusuran di bantaran Sungai Bekasi, menyampaikan aspirasinya terkait kebijakan pemerintah daerah yang melarang penyelenggaraan acara perpisahan sekolah. Menurutnya, momen perpisahan memiliki nilai penting sebagai ajang interaksi dan pengukir kenangan bersama teman-teman setelah melewati masa belajar selama tiga tahun.
Namun, Dedi Mulyadi dengan tegas menyampaikan argumennya bahwa kebijakan tersebut diambil sebagai upaya meringankan beban ekonomi orang tua siswa, terutama bagi keluarga yang kurang mampu. Ia menekankan pentingnya fokus pada kebutuhan mendasar dan investasi masa depan, daripada mengeluarkan biaya untuk acara seremonial yang dianggap kurang prioritas. “Dalam hidup, kita harus lebih fokus pada masa depan, bukan keperluan seremonial,” ujarnya.
Perdebatan semakin menarik ketika Aura menjelaskan bahwa biaya perpisahan di sekolahnya, SMAN 1 Cikarang Utama, relatif terjangkau. Ibunya pun menyatakan kesediaannya untuk membayar demi kebahagiaan sang anak. Akan tetapi, Dedi Mulyadi tetap berpendapat bahwa pengeluaran sekecil apapun dapat menjadi beban bagi keluarga yang kondisi ekonominya belum stabil.
"Saya bilang, kalau demi anak, jangan tinggal di bantaran sungai," tegas Dedi, mengarahkan perhatian pada pentingnya memprioritaskan kebutuhan dasar seperti tempat tinggal yang layak. Aura kemudian mengklarifikasi bahwa kedatangannya bukan untuk meminta belas kasihan, melainkan untuk mencari keadilan terkait penggusuran yang mereka alami.
Dedi Mulyadi lalu menyinggung tentang kepemilikan tanah dan konsekuensi yang mungkin timbul jika tinggal di lahan milik orang lain. Ia memberikan contoh bagaimana negara pun berhak meminta kompensasi atas penggunaan lahan. Aura, yang mengakui kondisi ekonominya yang terbatas, berharap pemerintah dapat memahami kesulitan yang mereka hadapi.
"Bapak kan bisa lihat dulu latar belakang saya, saya miskin atau gak, mampu bayar atau enggak," ungkap Aura. Dedi Mulyadi kemudian mempertanyakan mengapa orang yang merasa miskin justru ingin bergaya hidup mewah dengan mengadakan acara perpisahan sekolah. Ia menekankan pentingnya sikap prihatin dan fokus pada upaya membangun masa depan.
Aura kembali menegaskan dukungannya terhadap kebijakan pemerintah, namun tetap berharap acara perpisahan dapat dilaksanakan dengan biaya yang lebih terjangkau. Ia juga menyinggung tentang pajak yang harus dibayarkan, padahal dirinya dalam kondisi miskin.
Dedi Mulyadi membalas dengan mengatakan bahwa orang miskin seharusnya lebih bijak dalam mengelola keuangan dan memprioritaskan investasi masa depan. Ia menyarankan agar pengeluaran ditekan dan dialokasikan untuk pengembangan diri dan bisnis. Ia juga menyoroti ironi ketika seseorang tidak memiliki rumah yang layak namun tetap ingin mengadakan acara perpisahan yang mewah.
Di penghujung forum, mayoritas warga menyatakan dukungan terhadap kebijakan penghapusan acara wisuda dan study tour, dengan alasan keadilan dan keringanan biaya. Dedi Mulyadi kemudian menawarkan solusi alternatif, yaitu mengizinkan siswa untuk mengadakan acara perpisahan secara mandiri tanpa melibatkan pihak sekolah, sehingga tidak ada pungutan resmi yang membebani orang tua.
"Bikin aja sendiri, kumpul-kumpul teman, tapi jangan melibatkan sekolah," pungkas Dedi.