Efektivitas Juru Bicara Pemerintah: Antara Fungsi Strategis dan Tantangan Koordinasi
Dalam lanskap demokrasi modern, komunikasi pemerintah melampaui sekadar penyampaian informasi. Ia berfungsi untuk membentuk persepsi publik, membangun kepercayaan, dan memelihara kohesi sosial. Di jantung proses ini terletak peran strategis juru bicara (jubir) pemerintah, yang menjadi representasi visual, suara, dan penafsir utama kebijakan publik.
Penunjukan Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, sebagai juru bicara Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini memicu perdebatan publik. Pertanyaan yang muncul bukan hanya mengenai posisi strategis dalam pemerintahan, tetapi juga tentang potensi konflik antara beban kerja administratif seorang menteri dan tuntutan kecepatan, akurasi, serta kepekaan komunikasi publik yang dibutuhkan seorang juru bicara.
Selain itu, muncul pertanyaan mengenai koordinasi dengan Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO). Bagaimana koordinasi komunikasi akan diatur untuk menghindari tumpang tindih, fragmentasi pesan, atau kebingungan di masyarakat?
Kurangnya konsistensi dalam fungsi juru bicara dalam setahun terakhir menjadi perhatian. Narasi kebijakan sering kali disampaikan oleh berbagai aktor yang tidak selaras. Contohnya, rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% dan tata niaga Gas Elpiji 3 kg disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, bukan oleh Kemenkeu atau Menteri ESDM.
Dalam kasus pengangkatan ASN, Menteri Sekretaris Negara memberikan penjelasan tanpa narasi terpusat. Idealnya, Menpan RB atau Kepala BKN yang mengumumkan keputusan ini.
Praktik pemerintahan yang efektif menekankan sistem komunikasi yang terorganisasi, terkoordinasi, dan berbasis data. Untuk mengatasi tantangan komunikasi di era digital dan polarisasi sosial, peran juru bicara tidak boleh bersifat ad hoc atau sekadar pelengkap protokol. Pemerintah perlu merombak arsitektur komunikasi kebijakan.
Juru Bicara: Fungsi Strategis, Bukan Seremonial
Indonesia pernah memiliki juru bicara presiden seperti Wimar Witoelar (era Gus Dur) dan Julian Aldrin Pasha (era SBY). Namun, inkonsistensi peran jubir sering terjadi, bahkan kalah pengaruh dibanding menteri yang aktif di media sosial atau tokoh politik yang lebih bebas berbicara.
Juru bicara seharusnya menjadi pusat informasi resmi, jembatan antara pemerintah dan publik. Kepercayaan publik terhadap lembaga negara bergantung pada konsistensi pesan dan kredibilitas komunikator, seperti yang dikemukakan oleh Cornelia M. van Riel dan Charles Fombrun (2007). Peran juru bicara, baik secara personal maupun kelembagaan, sangat penting dalam proses ini.
Di Amerika Serikat, White House Press Secretary didukung oleh tim komunikasi yang solid dan memiliki akses langsung ke Presiden. Jen Psaki, mantan Press Secretary di era Presiden Joe Biden, dikenal karena kemampuannya menjawab pertanyaan sulit dengan cepat, lugas, dan berbasis data.
Di Inggris, Director of Government Communications memastikan konsistensi pesan pemerintah dan koordinasi antar lembaga.
Komunikasi adalah Legitimasi
Komunikasi pemerintah menghadapi tantangan kecepatan informasi dan fragmentasi ruang publik. Era digital memungkinkan setiap orang menjadi penyebar narasi. Kebijakan pemerintah diuji di media sosial, bukan hanya di DPR atau ruang akademik. Narasi resmi negara dapat tenggelam oleh opini yang lebih menarik secara emosional, meskipun tidak faktual.
Pemerintah perlu memperkuat kemampuan strategis komunikasi publik. Salah satu tantangan terbesar adalah membangun koordinasi antar kementerian/lembaga. Koordinasi yang lemah menyebabkan publik kebingungan karena pernyataan pejabat saling bertentangan.
Laporan OECD (2021) menyoroti tantangan serupa yang dihadapi banyak pemerintah: hilangnya kepercayaan publik, disinformasi, dan lemahnya koordinasi komunikasi. Studi tersebut menekankan pentingnya ekosistem komunikasi publik yang strategis, terkoordinasi, dan berbasis data.
Laporan World Bank (2020) menegaskan bahwa legitimasi kebijakan bergantung pada cara kebijakan dikomunikasikan kepada publik. Kegagalan kebijakan di negara berkembang sering kali disebabkan oleh sosialisasi yang buruk. Komunikasi publik yang buruk dapat menciptakan perlawanan terhadap kebijakan, bahkan dari kelompok yang diuntungkan. Komunikasi bukan hanya pelengkap, tetapi bagian integral dari pembentukan dan implementasi kebijakan.
Oleh karena itu, peran juru bicara harus menjadi bagian dari tata kelola pemerintahan yang deliberatif dan partisipatif. Sistem komunikasi harus mampu menyerap masukan dari bawah ke atas, membangun dialog, dan memperkuat kepercayaan publik.
Penguatan Fungsi Kehumasan Negara yang Terlembaga
Performa komunikasi saat ini sangat bergantung pada karisma individu juru bicara. Dalam sistem yang terlembaga, juru bicara didukung oleh sistem data, tim analis, dan kerangka pesan yang sudah dibangun. Pemerintah sebaiknya menata ulang fungsi ini dalam kerangka kelembagaan yang lebih kuat dan sistemik.
Komunikasi publik harus menjadi fungsi strategis dalam tata kelola pemerintahan untuk menghindari personifikasi komunikasi. Kehumasan negara bukan hanya tentang siapa yang berbicara, tetapi bagaimana institusi negara berbicara dengan satu suara, dalam satu arah, dan dengan satu niat: menjaga kepercayaan publik.
Fungsi kehumasan negara harus bergerak dua arah: menyampaikan informasi dari atas ke bawah dan menyerap aspirasi dari masyarakat. Juru bicara berperan sebagai "translator" yang menjelaskan kebijakan teknokratis dalam bahasa warga dan sebagai "sensor sosial" yang menangkap keresahan publik.
Momentum Transisi dan Kolaborasi
Pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki peluang untuk menata ulang arsitektur komunikasi ini. Membangun kepercayaan jangka panjang antara negara dan warga adalah kunci. Dengan kombinasi pemimpin militer dan generasi muda, ekspektasi publik terhadap gaya komunikasi mereka akan sangat beragam.
Keberhasilan pemerintah bergantung pada bagaimana program dipahami, diterima, dan dijalankan bersama masyarakat. Komunikasi publik, dan juru bicara sebagai wajah utamanya, sangat penting. Posisi juru bicara harus menjadi penopang demokrasi, bukan hanya pelengkap kekuasaan. Juru bicara yang baik harus menjadi jembatan antara rakyat dan negara, mengartikulasikan harapan publik dan menjelaskan arah kebijakan dengan jernih, jujur, dan membangun.
Heryadi Silvianto founder PR Politik Indonesia