GAPPRI Serukan Penundaan Kenaikan Cukai Rokok Demi Stabilitas Industri Tembakau

Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait kondisi industri hasil tembakau (IHT) nasional. Mereka mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) untuk periode 2026-2029. GAPPRI berpendapat bahwa kenaikan lebih lanjut akan memperburuk kondisi IHT yang saat ini tengah berjuang menghadapi berbagai tantangan.

Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, mengungkapkan bahwa industri rokok legal tengah menghadapi situasi yang sulit. Maraknya peredaran rokok ilegal menjadi salah satu faktor utama yang menekan IHT. Kenaikan cukai pada tahun 2023-2024 lalu dinilai menjadi pemicu utama meningkatnya peredaran rokok ilegal. Rokok ilegal menawarkan harga yang jauh lebih murah, sehingga menarik konsumen dan menggerogoti pangsa pasar rokok legal.

"Industri hasil tembakau legal saat ini situasinya tidak sedang baik-baik saja. Maka itu, GAPPRI mendorong pemerintah tidak menaikkan tarif cukai dan HJE tahun 2026 - 2028 agar IHT bisa pulih terutama dari tekanan rokok murah yang tidak jelas asal dan produsennya," ujar Henry dalam pernyataan tertulisnya.

Menurut GAPPRI, kenaikan cukai multi years yang diterapkan pada periode 2023-2024, dengan rata-rata kenaikan mencapai 10%, dinilai terlalu tinggi. Kebijakan ini mengakibatkan penurunan penjualan rokok, terutama pada golongan I. Kondisi ini dimanfaatkan oleh produsen rokok murah yang tidak jelas asal usulnya untuk memperluas pangsa pasar mereka. GAPPRI menilai bahwa kebijakan kenaikan cukai tersebut tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi yang ada, sehingga target penerimaan negara pun tidak tercapai.

Selain menunda kenaikan cukai, GAPPRI juga meminta agar seluruh pemangku kepentingan terkait IHT dilibatkan secara aktif dalam penyusunan Peta Jalan (Roadmap) kebijakan tarif CHT dan HJE untuk periode 2026-2029. Keterlibatan seluruh pemangku kepentingan diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang seimbang dan adil, dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti kesehatan, tenaga kerja di sektor IHT, serta pertanian tembakau dan cengkeh.

Henry Najoan menyoroti bahwa kepastian usaha di sektor IHT seringkali terhambat oleh kebijakan yang kurang transparan. Salah satu contohnya adalah waktu pengumuman Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang kenaikan CHT yang seringkali dilakukan pada akhir tahun. Hal ini menyulitkan pelaku usaha dalam melakukan perencanaan bisnis.

GAPPRI berharap agar penyusunan roadmap kebijakan cukai untuk periode 2026-2029 dilakukan secara komprehensif dan transparan, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap industri dan perekonomian nasional. Mereka juga mengingatkan pemerintah untuk tidak melakukan penyederhanaan tarif (simplifikasi), karena dampaknya dinilai lebih besar daripada manfaatnya.

"Simplifikasi tarif justru akan membuat harga produk tembakau naik tinggi, yang membuat sulit bersaing dengan rokok yang tak jelas proses dan produsennya," tegas Henry Najoan.

Berikut poin-poin penting yang menjadi perhatian GAPPRI:

  • Penundaan Kenaikan Cukai: Mendesak pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai dan HJE pada periode 2026-2029.
  • Rokok Ilegal: Menyoroti maraknya peredaran rokok ilegal yang menekan IHT.
  • Keterlibatan Pemangku Kepentingan: Meminta agar seluruh pemangku kepentingan dilibatkan dalam penyusunan roadmap kebijakan cukai.
  • Transparansi Kebijakan: Menekankan pentingnya transparansi dalam penyusunan kebijakan cukai.
  • Penolakan Simplifikasi Tarif: Menentang penyederhanaan tarif karena dinilai merugikan IHT.