Deregulasi Sebagai Alat Negosiasi Tarif dengan AS: Pemerintah Didesak Utamakan Kepentingan Nasional Jangka Panjang

Rencana pemerintah Indonesia untuk melakukan deregulasi sebagai bagian dari strategi negosiasi tarif resiprokal dengan Amerika Serikat (AS) menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Para pengamat ekonomi mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dan tidak mengorbankan kepentingan jangka panjang bangsa demi mencapai kesepakatan dengan AS.

Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyatakan bahwa deregulasi seharusnya tidak dijadikan alat tawar-menawar dalam negosiasi dengan AS. Menurutnya, memberikan kelonggaran berlebihan hanya untuk mencapai kesepakatan dapat merugikan Indonesia di masa depan. "Deregulasi seharusnya tidak menjadi komoditas negosiasi," tegasnya.

Syafruddin juga menekankan pentingnya menjaga ruang kebijakan nasional dalam negosiasi tarif. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip kedaulatan dan keadilan sosial tetap menjadi landasan utama dalam pembangunan ekonomi.

Senada dengan Syafruddin, Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, juga mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menjalankan deregulasi. Meskipun menjaga hubungan baik dengan AS penting, terutama dalam hal ekspor dan investasi, namun hal itu tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan regulasi yang sudah ada dan melindungi kepentingan nasional.

"Menjaga hubungan dengan AS itu penting, tetapi bukan berarti kita harus mengorbankan regulasi yang melindungi lingkungan, hak pekerja, dan keberlanjutan ekonomi," ujar Yusuf.

Deregulasi seringkali menyasar aturan-aturan yang dianggap menghambat investasi asing atau mengurangi daya saing produk ekspor. Yusuf khawatir bahwa hal ini berpotensi merugikan kepentingan nasional. Contohnya, aturan terkait kewajiban penggunaan komponen lokal (TKDN), relaksasi standar lingkungan, atau penghapusan kewajiban kerja sama dengan mitra lokal.

Yusuf mencontohkan bagaimana di sektor manufaktur, AS dapat menekan Indonesia untuk menghapus kewajiban penggunaan komponen lokal. Hal ini akan mempermudah produk AS masuk ke pasar domestik. "Jika pemerintah menuruti permintaan itu, investasi asing mungkin meningkat, tetapi industri lokal akan tertekan dan kehilangan daya saing," jelas Yusuf.

Ia juga menekankan pentingnya kajian dampak yang komprehensif sebelum melakukan perubahan regulasi. Semua pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam proses ini. Selain itu, perubahan regulasi harus didasarkan pada prinsip timbal balik yang adil.

Yusuf mengingatkan agar sektor-sektor vital seperti energi, pangan, dan sumber daya alam tidak terdampak oleh deregulasi. Ia juga menyarankan adanya mekanisme pengawasan yang transparan dan partisipatif dalam setiap proses negosiasi dan perubahan regulasi.

"Langkah ini penting agar deregulasi tidak menjadi bentuk ketundukan Indonesia terhadap tekanan asing, melainkan keputusan strategis yang berpihak pada kepentingan jangka panjang Indonesia," tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pemerintah membuka peluang untuk menghapus atau memodifikasi aturan demi menegosiasikan penurunan tarif resiprokal dengan AS. Terutama aturan yang dinilai menghambat sektor usaha.

"Kami akan melihat apakah regulasi ini perlu dihapus atau dimodifikasi untuk mendukung bisnis di Indonesia. Seperti yang disampaikan Presiden Prabowo, deregulasi ini untuk mengurangi beban dan hambatan bagi sektor swasta," ujar Sri Mulyani.

Dengan demikian, pemerintah perlu mempertimbangkan secara matang setiap langkah deregulasi yang akan diambil. Tujuannya agar tidak mengorbankan kepentingan nasional jangka panjang demi mencapai kesepakatan tarif dengan AS. Keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dan pengawasan yang transparan menjadi kunci untuk memastikan bahwa deregulasi benar-benar bermanfaat bagi Indonesia.