Polemik Ormas yang Meresahkan: Tanggapan NU, Muhammadiyah, dan Rencana Revisi UU

Ormas dan Potensi Kekerasan: Reaksi Ormas Islam Terbesar dan Pemerintah

Isu mengenai organisasi masyarakat (ormas) yang bertindak di luar batas kewajaran kembali mencuat ke permukaan. Beberapa kasus terakhir, mulai dari dugaan premanisme hingga aksi pembakaran fasilitas publik, memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk organisasi keagamaan besar dan pemerintah.

Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua MPR, Eddy Soeparno, menyoroti adanya ormas yang menghambat pembangunan pabrik BYD di Subang. Eddy menyampaikan kekhawatirannya melalui akun Instagram, menyebutkan adanya indikasi premanisme yang dilakukan ormas sehingga mengganggu investasi. Ia mendesak pemerintah untuk bertindak tegas agar investor merasa aman dan nyaman berinvestasi di Indonesia.

Kasus lainnya adalah aksi pembakaran mobil polisi yang dilakukan oleh anggota ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya. Aksi tersebut dipicu oleh penangkapan ketua mereka. Pihak kepolisian menyatakan tengah melakukan pengejaran terhadap pelaku yang masih buron.

Menanggapi hal ini, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur, menyatakan dukungannya terhadap pembubaran ormas yang terlibat dalam kekerasan sipil dan mengambil alih fungsi keamanan negara. Menurutnya, ormas semacam itu sudah tidak dapat dibina dan melanggar Undang-Undang tentang Ormas. Ia menegaskan bahwa negara tidak boleh kalah dengan premanisme.

Sementara itu, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Anwar Abbas, berpendapat bahwa tindakan ormas yang meresahkan disebabkan oleh masalah ekonomi. Ia meyakini bahwa anggota ormas yang memiliki pekerjaan dan penghidupan yang layak tidak akan terlibat dalam tindakan yang merugikan masyarakat. Anwar Abbas tidak melihat urgensi untuk merevisi Undang-Undang Ormas, karena menurutnya undang-undang yang baik pun tidak akan efektif jika masalah ekonomi anggota ormas tidak teratasi.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian membuka wacana revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Tujuannya adalah untuk memperketat pengawasan terhadap ormas, terutama terkait transparansi keuangan. Tito Karnavian menyoroti banyaknya ormas yang bertindak melampaui batas dan menekankan pentingnya mekanisme audit keuangan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Tito Karnavian menekankan bahwa revisi UU Ormas harus melalui prosedur legislasi yang melibatkan DPR RI. Ia juga menegaskan bahwa ormas tidak boleh melakukan intimidasi, pemerasan, atau kekerasan. Jika tindakan tersebut dilakukan secara sistematis dan atas perintah ormas, maka organisasi tersebut dapat dikenakan sanksi pidana.

Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda, menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu usulan resmi dari pemerintah terkait revisi UU Ormas. Jika usulan tersebut diajukan, Komisi II DPR siap membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait UU Ormas.

Polemik mengenai ormas yang meresahkan ini menunjukkan perlunya penanganan yang komprehensif. Pemerintah, organisasi masyarakat, dan DPR perlu bekerja sama untuk mencari solusi yang tepat, baik melalui penegakan hukum, pembinaan ormas, maupun perbaikan kondisi ekonomi anggota ormas.