Polemik Pencopotan Wakil Presiden: Tinjauan Konstitusional dan Implikasi Demokratis

Kontroversi Usulan Pemberhentian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka

Usulan pemberhentian Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka yang dilontarkan oleh sejumlah purnawirawan TNI telah memicu perdebatan sengit di ruang publik. Tuntutan ini, yang disampaikan dalam delapan poin kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto, menyerukan agar Gibran dicopot melalui mekanisme Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Alasan yang mendasari tuntutan ini adalah anggapan bahwa pencalonan Gibran bermula dari proses yang cacat secara etika dan hukum, mengacu pada putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK).

Tuntutan ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai kedudukan Wapres dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan prosedur pemberhentiannya. Dalam sistem presidensial, Wapres bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian integral dari eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat. Pemberhentian seorang Wapres bukanlah perkara sederhana yang dapat diputuskan berdasarkan opini atau tekanan politik sesaat. Tindakan tersebut haruslah didasarkan pada landasan konstitusi dan hukum yang kuat.

Landasan Konstitusional Pemberhentian Wapres

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 secara jelas mengatur mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, memberikan mandat yang kuat kepada keduanya. Konstitusi hanya memberikan satu jalan hukum untuk memberhentikan presiden atau wakil presiden, yaitu melalui proses pemakzulan (impeachment).

Mekanisme impeachment diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945, yang menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat, seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta jika tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Prosedur pemakzulan melibatkan serangkaian tahapan yang ketat, mulai dari usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi, hingga sidang MPR. Tidak ada ketentuan dalam konstitusi yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk mencopot Wapres hanya karena ketidakpuasan terhadap proses politik yang telah berlalu.

Implikasi Demokratis dan Hukum

Desakan untuk mencopot Gibran melalui MPR bukan hanya tidak memiliki dasar hukum yang kuat, tetapi juga dapat menyesatkan dan membahayakan prinsip-prinsip demokrasi. Tindakan ini berpotensi mengembalikan praktik politik konsensus elite yang mendominasi sebelum era Reformasi, di mana pemimpin negara dipilih dan dicopot oleh segelintir elite tanpa partisipasi rakyat.

Reformasi 1998 telah memberikan kendali penuh kepada rakyat dalam menentukan siapa yang memimpin negara ini. Menghidupkan kembali peran MPR sebagai penentu nasib jabatan eksekutif tanpa dasar hukum yang jelas merupakan langkah mundur dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi langsung.

Kritik terhadap proses politik yang dianggap tidak ideal adalah hal yang wajar dalam demokrasi. Namun, kritik tersebut harus disalurkan melalui mekanisme yang konstitusional, bukan dengan mengusulkan pencopotan jabatan yang diperoleh melalui pemilihan umum (Pemilu).

Pentingnya Etika dan Supremasi Hukum

Masalah yang berkaitan dengan Gibran bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal etika politik. Banyak pihak menilai bahwa pencalonan Gibran sebagai cawapres di tengah konflik kepentingan keluarga merupakan pelanggaran etika kekuasaan. Namun, penyelesaian masalah etika ini harus tetap berada di jalur hukum, bukan dengan jalan pintas yang menyerupai kudeta konstitusional.

Indonesia telah berjuang keras untuk mencapai titik demokrasi saat ini. Pengalaman kelam tentang kekuasaan tanpa batas, MPR yang terlalu kuat, dan pemimpin yang dipilih bukan oleh rakyat harus menjadi pelajaran berharga. Jangan biarkan satu masalah etika menggiring kita kembali ke masa lalu.

Sebagai negara hukum, Indonesia tidak boleh tergoda untuk menyelesaikan masalah politik dengan cara-cara yang inkonstitusional. Kekuasaan yang dibangun tanpa menghormati konstitusi hanya akan melahirkan ketidakstabilan.

Usulan pencopotan Gibran harus ditanggapi dengan bijak. Presiden Prabowo diharapkan menunjukkan sikap kenegarawanan dengan menampung kritik, menjaga komunikasi, tetapi tetap berpegang pada hukum. Masyarakat sipil juga harus tetap kritis, tetapi tidak tergiur oleh solusi yang mengabaikan prosedur demokratis.

Jika konstitusi dapat ditekuk karena tekanan politik, maka kepastian hukum akan hilang. Dan jika itu terjadi, seluruh masyarakat akan menjadi korban: rakyat, demokrasi, dan masa depan bangsa.

  • Usulan pencopotan Gibran melalui MPR: Kritik terhadap dasar hukum dan dampaknya pada demokrasi.
  • Landasan konstitusional untuk pemberhentian presiden dan wakil presiden.
  • Implikasi demokrasi dan hukum dari tuntutan tersebut.
  • Pentingnya etika dan supremasi hukum dalam menyelesaikan konflik politik.
  • Peran presiden terpilih dalam menanggapi usulan dan menjaga stabilitas negara.