Tōemon Sano: Kisah Sang Penjaga Sakura Legendaris dan Tantangan Iklim yang Mengintai
Di balik keindahan bunga sakura yang memukau, tersembunyi kisah seorang pria bernama Tōemon Sano, penjaga sakura (sakuramori) legendaris dari Jepang. Selama lebih dari 80 tahun, pria berusia 97 tahun ini telah mendedikasikan hidupnya untuk merawat dan melestarikan pohon sakura, simbol keindahan dan kefanaan yang sangat dihormati di Jepang.
Tōemon Sano adalah generasi ke-16 dari keluarga petani terhormat yang telah mengolah lahan di distrik Ukyo, Kyoto sejak pertengahan abad ke-17. Setelah kematian ayahnya pada tahun 1981, ia mewarisi nama Tōemon dan memimpin Uetō Zōen, perusahaan lanskap keluarga yang didirikan pada tahun 1832. Taman Keluarga Sano seluas 1,5 hektare, yang terletak di dekat kuil Ninna-ji dan Daikaku-ji, menjadi pusat kegiatan Tōemon dalam menjaga kelangsungan hidup pohon sakura.
Dedikasi Tōemon terhadap sakura tidak hanya terbatas pada Taman Keluarga Sano. Ia juga merawat pohon sakura di berbagai taman di seluruh Jepang dan dunia, termasuk Taman Jepang yang dirancang oleh Isamu Noguchi di markas besar UNESCO di Paris. Pengetahuannya yang mendalam tentang sakura dituangkan dalam buku berjudul Sakura Taikan, sebuah karya komprehensif tentang pohon sakura yang berisi penelitian yang dimulai oleh kakeknya pada masa Taishō (1912–1926).
Bagi Tōemon, sakura bukan hanya sekadar bunga. Ia mengagumi ketangguhan sakura yang mampu bertahan melewati musim dingin yang keras dan filosofi hidup yang terkandung di dalamnya. "Dari 365 hari dalam setahun, bunga sakura bertahan melawan angin dan salju selama 360 hari, hanya untuk mekar dengan gemilang selama lima hari sebelum gugur dengan anggun," ujarnya. Siklus hidup sakura ini mencerminkan pandangan hidup orang Jepang tentang kefanaan dan keindahan.
Namun, seiring bertambahnya usia Tōemon, tantangan baru muncul dalam upaya pelestarian sakura. Putranya, Shinichi Sano, yang kini memimpin operasional Uetō Zōen, menyoroti ancaman besar yang mengintai, yaitu perubahan iklim. Studi terbaru menunjukkan bahwa puncak mekarnya sakura di Kyoto pada tahun 2020, 2021, dan 2023 adalah yang paling awal dalam lebih dari 1.200 tahun. Musim dingin yang lebih hangat dapat menghambat proses mekarnya bunga, mengancam keberlangsungan hidup pohon sakura di berbagai wilayah di Jepang.
Shinichi menambahkan, "Jika pemanasan global terus seperti ini, saya yakin akan ada wilayah di Jepang di mana pohon sakura tidak lagi berbunga."
Di tengah tantangan perubahan iklim, inovasi teknologi juga berperan dalam pelestarian sakura. Sebuah perusahaan minuman di Jepang telah mengembangkan alat bernama Sakura AI Camera, yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk membantu pemerintah daerah mengidentifikasi pohon sakura yang mulai sakit. Alat ini memungkinkan pengguna untuk mengetahui kondisi dan memperkirakan usia pohon sakura hanya dengan memotretnya menggunakan ponsel pintar.
Sakura AI Camera menggunakan skala penilaian lima level untuk menentukan kondisi pohon, mulai dari "sangat sehat" hingga "perlu perhatian". Teknologi ini dilatih menggunakan sekitar 5.000 gambar pohon sakura dengan masukan dari para ahli. Data yang dikumpulkan melalui Sakura AI Camera tersedia secara gratis untuk otoritas lokal melalui platform daring, memudahkan perencanaan konservasi.
Risa Shioda dari Kirin menjelaskan bahwa pelestarian sakura membutuhkan tenaga manusia dan dana yang besar, serta sulitnya mengumpulkan data. Dengan Sakura AI Camera, mereka berharap dapat berkontribusi dalam mempermudah perencanaan konservasi sakura di seluruh Jepang.
Kisah Tōemon Sano, sang penjaga sakura legendaris, dan upaya pelestarian sakura yang terus berkembang, mencerminkan kecintaan dan penghargaan mendalam masyarakat Jepang terhadap simbol keindahan dan kefanaan ini. Di tengah ancaman perubahan iklim, inovasi teknologi seperti Sakura AI Camera memberikan harapan baru dalam menjaga kelangsungan hidup pohon sakura untuk generasi mendatang.