Preferensi Penggunaan Tisu Toilet di Dunia Barat: Sejarah, Kebiasaan, dan Dampak Lingkungan
Di berbagai belahan dunia, khususnya di negara-negara Barat, praktik membersihkan diri setelah buang air menggunakan tisu toilet lebih lazim dibandingkan dengan penggunaan air. Fenomena ini seringkali menimbulkan pertanyaan, mengingat air secara umum dianggap lebih efektif dalam membersihkan. Lantas, apa yang mendasari kebiasaan ini?
Akar Sejarah dan Kebiasaan
Penggunaan tisu toilet memiliki akar sejarah yang cukup panjang. Tisu toilet modern pertama kali muncul sekitar 150 tahun lalu. Jauh sebelum itu, masyarakat menggunakan berbagai material alternatif seperti rumput, daun, kain, atau bahkan serpihan kertas bekas. Pada tahun 1857, Joseph Gayetty memperkenalkan tisu toilet komersial pertama di Amerika Serikat, yang dikenal sebagai "Kertas Obat Gayetty". Meskipun awalnya tidak langsung populer, penggunaan tisu toilet terus berkembang seiring waktu.
Pada tahun 1880-an, tisu toilet dengan perforasi mulai muncul, meskipun teksturnya masih kasar. Barulah pada tahun 1935, perusahaan Northern Tissue mengiklankan tisu toilet "bebas serpihan" yang lebih lembut dan nyaman digunakan. Sejak saat itu, popularitas tisu toilet terus meningkat, didorong oleh inovasi dan ketersediaan yang mudah.
Kebiasaan menggunakan tisu toilet di negara-negara Barat juga dipengaruhi oleh faktor cuaca. Di wilayah dengan iklim dingin, penggunaan air untuk membersihkan diri mungkin terasa kurang nyaman, terutama sebelum adanya teknologi pemanas air yang canggih. Akibatnya, penggunaan tisu toilet menjadi tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dampak Lingkungan
Namun, penggunaan tisu toilet yang masif juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Diperkirakan, rata-rata penduduk di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa Barat menggunakan 15-20 kg tisu toilet per tahun. Proses produksi tisu toilet dari kayu dapat menyebabkan polusi dan berkontribusi terhadap penggundulan hutan. Organisasi lingkungan telah mengkritik beberapa produsen tisu toilet karena praktik yang tidak berkelanjutan, termasuk penebangan hutan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Setiap tahun, sekitar 15 juta pohon ditebang untuk menghasilkan bubur kertas yang digunakan dalam pembuatan tisu toilet. Hal ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengurangi kemampuan hutan dalam menyerap karbon, yang dapat memperburuk perubahan iklim. Sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan, para ahli menyarankan penggunaan air atau bidet untuk membersihkan diri setelah buang air. Penggunaan bidet dapat mengurangi penggunaan tisu toilet secara signifikan dan memiliki dampak lingkungan yang lebih kecil dibandingkan dengan produksi tisu toilet.
Natural Resources Defense Council juga mendukung penggunaan air atau bidet sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan. Dengan mempertimbangkan faktor sejarah, kebiasaan, dan dampak lingkungan, kita dapat lebih memahami mengapa penggunaan tisu toilet masih menjadi pilihan utama di banyak negara Barat, serta mendorong alternatif yang lebih ramah lingkungan.