Dugaan Korupsi Sertifikat Tanah Ulayat Maboet: Ribuan Sertifikat Terbit di Atas Tanah Sengketa
Dugaan Korupsi Sertifikat Tanah Ulayat Maboet: Ribuan Sertifikat Terbit di Atas Tanah Sengketa
Kaum Maboet di Padang, Sumatera Barat, kembali menyuarakan dugaan praktik korupsi terkait tanah ulayat seluas 765 hektare di Kecamatan Koto Tangah. Laporan yang diajukan Mamak Kepala Waris, M. Yusuf, ke Kejaksaan Negeri Padang, mengungkap penerbitan ribuan sertifikat tanah di atas lahan yang sejak tahun 1982 hingga 2010 berstatus sita tahanan pengadilan. Kuasa hukum kaum Maboet, Igel Oktora, menyatakan kejanggalan yang signifikan dalam proses tersebut. Ribuan sertifikat ini diterbitkan atas nama sekelompok orang, bukan atas nama kaum Maboet yang secara sah memiliki hak ulayat atas lahan tersebut. Situasi ini semakin mengkhawatirkan karena sejumlah tanah tersebut telah dibeli oleh instansi pemerintah dan bahkan dijadikan agunan di bank BUMN, meskipun status hukumnya masih belum jelas.
Lebih jauh, Igel Oktora menjelaskan bahwa kasus ini telah memiliki sejarah panjang di ranah hukum. Pada tahun 2018, Polda Sumbar di bawah kepemimpinan Irjen Pol Fakhrizal telah menetapkan lima tersangka dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) atas dugaan pemalsuan sertifikat. Namun, setelah Irjen Pol Fakhrizal mengakhiri masa jabatannya, kasus tersebut tiba-tiba dihentikan, dan para tersangka dibebaskan. Ironisnya, Mengenaskan, Lehar, Ketua Majelis Kemakmuran Waris (MKW) kaum Maboet saat itu, justru ditangkap atas tuduhan penipuan dan mafia tanah. Sayangnya, Lehar meninggal dunia saat ditahan di Polda Sumbar tanpa kasusnya terbukti. Kepada Kejaksaan Negeri Padang, Igel Oktora mendesak dilakukannya investigasi menyeluruh untuk mengungkap dugaan korupsi yang merugikan negara dan kaum Maboet secara signifikan. Kasus ini dinilai tidak hanya mencederai keadilan, tetapi juga mengancam kepastian hukum atas tanah ulayat kaum Maboet.
Kejaksaan Negeri Padang melalui Kepala Seksi Pidana Khusus, Yuli Andri, membenarkan telah menerima laporan dugaan korupsi dari M. Yusuf. Bahkan, Surat Perintah Penyelidikan telah dikeluarkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Padang, Aliansyah. Namun, Yuli Andri menjelaskan bahwa penyelidikan sementara ditutup karena tim penyelidik belum menemukan bukti yang cukup kuat untuk menetapkan adanya peristiwa pidana tindak pidana korupsi (tipikor). Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang kelanjutan proses hukum dan upaya pengungkapan kebenaran dalam kasus ini. Apakah bukti-bukti yang telah dikumpulkan oleh kaum Maboet dan kuasa hukumnya sudah cukup untuk membuka kembali penyelidikan, atau apakah ada hambatan lain yang menghambat proses hukum ini?
Pihak kaum Maboet menyatakan akan terus memperjuangkan hak-haknya dan mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini hingga ke akarnya. Ketidakjelasan status hukum tanah ulayat tersebut selama bertahun-tahun menimbulkan kerugian yang signifikan, baik bagi kaum Maboet maupun negara. Kejadian ini menggarisbawahi pentingnya pengawasan ketat terhadap proses pertanahan, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan tanah ulayat dan kepentingan publik.
Berikut poin penting yang perlu diperhatikan dalam kasus ini:
- Tanah ulayat seluas 765 hektare di Koto Tangah, Padang, Sumatera Barat, menjadi objek sengketa.
- Ribuan sertifikat tanah diterbitkan di atas tanah yang berstatus sita tahanan pengadilan.
- Sertifikat diterbitkan atas nama sekelompok orang, bukan atas nama kaum Maboet yang berhak.
- Tanah tersebut dibeli oleh instansi pemerintah dan dijadikan agunan di bank BUMN.
- Kasus serupa pernah dilaporkan pada 2018, tetapi kemudian dihentikan.
- Ketua MKW kaum Maboet meninggal dunia saat ditahan dengan tuduhan yang tidak terbukti.
- Kejaksaan Negeri Padang telah menerima laporan dan melakukan penyelidikan, namun penyelidikan sementara ditutup.
Kasus ini menjadi sorotan dan membutuhkan perhatian serius dari semua pihak untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum bagi kaum Maboet serta mencegah terjadinya praktik korupsi serupa di masa mendatang.