Kritik Pengamat: Fokus Kopassus Seharusnya Geopolitik, Bukan Premanisme

Pengamat Soroti Pernyataan Danjen Kopassus tentang Premanisme

Pengamat militer Al Araf, yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Pekerja Centra Initiative, baru-baru ini menyampaikan kritik terhadap pernyataan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, Mayjen TNI Djon Afriandi, terkait penindakan premanisme. Menurut Araf, fokus utama Kopassus seharusnya terletak pada menjaga kedaulatan negara, terutama dalam menghadapi potensi konflik geopolitik.

"Pernyataan Danjen Kopassus kurang tepat," ujar Araf. Ia menekankan bahwa Kopassus, sebagai bagian dari TNI, memiliki tanggung jawab besar dalam mengawasi dinamika geopolitik, termasuk potensi konflik di Laut China Selatan. Oleh karena itu, seluruh kemampuan TNI harus dipersiapkan untuk menghadapi skenario terburuk, termasuk perang, bukan terlibat dalam penanganan premanisme.

Premanisme Sebagai Tanggung Jawab Penegak Hukum Sipil

Araf menjelaskan bahwa tindakan premanisme merupakan individual crime responsibility, yang berarti tanggung jawab atas kejahatan individu. Proses hukum harus ditegakkan untuk membuktikan keterlibatan seseorang dalam aksi premanisme. Ia menegaskan bahwa militer, termasuk Kopassus, bukanlah bagian dari sistem penegakan hukum. Keterlibatan militer dalam proses tersebut dinilai tidak tepat dan keliru.

Pengamat ini mengingatkan tentang praktik penanganan premanisme di masa lalu, khususnya pada era Orde Baru, yang menggunakan mekanisme extrajudicial killing atau dikenal sebagai kasus penembakan misterius (Petrus). Praktik tersebut, menurut Araf, mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, di mana orang yang tidak bersalah menjadi korban.

"Ada yang bukan preman, dianggap preman, mati. Ada yang preman juga mungkin ditembak mati. Itu enggak boleh terjadi," tegasnya. Araf menekankan bahwa setiap warga negara Indonesia, termasuk mereka yang diduga terlibat dalam tindakan kriminal, berhak atas proses hukum yang adil.

Klarifikasi Danjen Kopassus Mengenai Ormas dan Premanisme

Sebelumnya, Danjen Kopassus Mayjen TNI Djon Afriandi menegaskan komitmennya untuk menindak tegas segala bentuk premanisme, termasuk yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan organisasi kemasyarakatan (ormas). Namun, ia juga menekankan pentingnya membedakan antara ormas dan premanisme, agar tidak terjadi generalisasi negatif terhadap semua ormas di Indonesia.

"Kita harus pisahkan. Ormas itu tidak semuanya preman, dan premanisme juga tidak semuanya tergabung di ormas," kata Djon.

Djon menjelaskan bahwa ormas yang bersifat positif, mendukung kebijakan pemerintah, dan menjaga ketertiban, memiliki manfaat bagi masyarakat. Namun, tindakan tegas perlu diambil jika ormas justru mengganggu stabilitas dan ketertiban.

"Kalau sudah menghambat, mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat, berarti harus ditindak," ujarnya.

Danjen Kopassus menekankan bahwa premanisme merugikan masyarakat karena memaksakan kehendak dan mengambil hak orang lain secara paksa. Ia mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam melawan tindakan premanisme dan menyerahkan penindakan kepada aparat kepolisian.

"Tugas menindak itu tentu ada pada kepolisian. Tapi, masyarakat juga harus berani melawan karena premanisme itu tidak baik dan tidak boleh dibiarkan," imbuhnya.

Peran Masyarakat dan Aparat dalam Memberantas Premanisme

Isu premanisme menjadi perhatian serius di berbagai kalangan. Selain aparat penegak hukum, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan tertib. Dengan bersinergi, diharapkan praktik-praktik premanisme dapat diberantas dan kehidupan sosial dapat berjalan dengan harmonis.