Simfoni Alam dan Syair Kuno: Refleksi Mendalam tentang Harmoni yang Hilang

Di tengah keheningan fajar, ketika embun masih membasahi dedaunan, lantunan merdu burung bulbul menyayat sunyi. Lebih dari sekadar suara, itu adalah bahasa alam yang seringkali terabaikan oleh kita. Esensi inilah yang tercermin dalam syair klasik Arab, "Tob Tobi Tob," atau dikenal juga sebagai Sawt Al-Safiri Al-Bulbuli. Karya agung ini bukan hanya mengumandangkan keindahan cinta, tetapi juga menyingkap keselarasan antara alam dan manusia.

Menghayati setiap bait dan nada syair ini membawa kita menyelami samudera makna yang tak bertepi, serupa dengan pengalaman tadabur alam. Keduanya, meski berbeda wujud, bermuara pada satu tujuan: mengajak manusia untuk berhenti sejenak, merenung lebih dalam, dan menyadari bahwa alam semesta bukanlah sekadar benda mati, melainkan sebuah narasi yang hidup.

Syair "Tob Tobi Tob" bukan sekadar rangkaian kata berima, melainkan representasi puitis alam yang dilantunkan kembali oleh manusia. Burung bulbul, air, bunga, dan rembulan menjadi simbol-simbol yang mengandung makna mendalam. Dalam tadabur alam, simbol-simbol ini bukan hanya hiasan, melainkan "ayat-ayat" yang mengajak kita untuk merenung. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an, penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam adalah tanda-tanda bagi mereka yang berpikir. Mereka yang senantiasa mengingat Allah dalam setiap keadaan, sambil merenungkan ciptaan-Nya. Di sinilah letak keterkaitan antara syair klasik dan tadabur alam: mengajak kita untuk mengingat, merenung, dan memahami.

Namun, di balik keindahan syair dan "ayat-ayat" alam, kita dihadapkan pada realitas yang menyakitkan: kerusakan ekologis akibat tindakan manusia yang abai terhadap alam. Banjir bandang, kebakaran hutan, krisis air bersih, hingga kepunahan spesies menjadi bukti nyata. Semua ini adalah "teriakan" alam yang diabaikan karena kita terlalu sibuk dengan kebisingan buatan sendiri. Di Kalimantan, ribuan hektar hutan tropis yang dulunya menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna kini rata dengan tanah demi pertambangan dan perkebunan. Di Bangka, kebun-kebun kecil dan bukit-bukit granit hancur akibat penambangan timah ilegal. Ironisnya, ketika syair "Tob Tobi Tob" viral di media sosial, suara burung bulbul sebagai metafora cinta justru menghilang dari habitat aslinya.

Kita seringkali timpang dalam memperlakukan keindahan. Kita mengagumi metafora suara burung, tetapi gagal menjaga kelestariannya di alam nyata. Tadabur alam seharusnya tidak hanya menjadi aktivitas simbolik atau rekreasi semata, tetapi juga kesadaran ekologis yang membumi. Ketika mendengar kicauan burung, melihat pepohonan menjulang, atau menyentuh tanah yang basah oleh hujan, kita seharusnya tidak hanya mengagumi, tetapi juga merasakan tanggung jawab untuk menjaganya. Inilah hakikat tadabur: bukan hanya menikmati, tetapi memelihara. Bukan hanya mengagumi, tetapi juga merendahkan diri dalam kesadaran bahwa manusia bukanlah penguasa mutlak, melainkan khalifah yang diberi amanah.

Menelusuri sejarah "Tob Tobi Tob," kita diajak untuk mengenang masa kejayaan ilmu pengetahuan dan sastra Islam di era Abbasiyah. Pada masa itu, penyair seperti Al-Asma'i tidak hanya menghibur khalifah, tetapi juga menunjukkan bahwa seni dan sains dapat menjadi sarana untuk memperhalus jiwa dan menumbuhkan kecintaan terhadap ciptaan Allah. Syair itu menjadi ujian bagi mereka yang haus akan pengakuan, namun tidak mampu menghayati keindahan sejati. Khalifah Abu Ja'far, yang awalnya menguji para penyair dengan kecerdikannya, akhirnya mengakui bahwa keindahan dan kejujuran dalam berkarya jauh lebih berharga daripada intrik politik. Hari ini, kita pun diuji, bukan dengan syair, tetapi dengan krisis lingkungan. Mampukah kita menulis puisi kehidupan melalui tindakan nyata dalam menjaga alam? Ataukah kita hanya menjadi penonton dari keruntuhan peradaban yang kita bangun atas dasar keserakahan?

Burung bulbul dalam syair bukan hanya simbol cinta, melainkan juga lambang keseimbangan. Burung hanya akan berkicau merdu jika habitatnya terjaga. Air hanya akan mengalir jernih jika hutan tetap lestari. Rembulan hanya akan memantulkan cahaya jika langit tidak tercemar asap pabrik dan pembakaran lahan. Semua ini adalah pesan ekologis yang tersembunyi dalam estetika. Oleh karena itu, ketika kita mengajarkan syair "Tob Tobi Tob" kepada anak-anak atau memperdengarkannya sebagai lagu, kita juga harus menyelipkan pesan bahwa suara burung itu kini terancam. Tadabur alam dapat menjadi jembatan untuk menyampaikan pesan ini secara halus namun efektif. Dengan mengajak anak-anak berjalan di hutan, mengamati sungai, atau sekadar duduk di taman kota sambil membaca syair, kita sedang menanamkan rasa cinta dan kepedulian. Inilah pendidikan yang hakiki: menyentuh hati, bukan hanya mengisi kepala.

Dalam konteks Indonesia, kita memiliki banyak kearifan lokal yang sejalan dengan nilai-nilai tadabur alam. Masyarakat Baduy menjaga hutan karena mereka percaya bahwa alam adalah titipan leluhur dan Sang Pencipta. Suku Lom di Bangka percaya bahwa air dan hutan adalah pusat harmoni kehidupan. Namun, nilai-nilai ini kini mulai tergerus oleh arus konsumerisme dan eksploitasi sumber daya. Kita kehilangan arah dalam membaca "syair" alam yang seharusnya kita jaga bersama. Mungkin kita membutuhkan lebih banyak "penyair" seperti Al-Asma'i, bukan dalam bentuk literal, tetapi dalam wujud para pendidik, aktivis lingkungan, tokoh agama, dan pemimpin yang mampu merangkai narasi kebaikan dalam menjaga bumi ini.

Sebagaimana akhir dari syair "Tob Tobi Tob" yang menceritakan perjalanan menuju raja mulia dan gaun merah seperti darah, ada simbol perpisahan dan perjuangan di sana. Barangkali ini adalah metafora dari perjuangan terakhir untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari alam. Kita berada di titik kritis di mana pilihan kita hari ini akan menentukan masa depan generasi mendatang. Jika kita terus menutup telinga dari kicauan burung dan memalingkan mata dari kehancuran, maka kita telah gagal dalam melakukan tadabur. Namun, jika kita mulai dari hal kecil—mengurangi sampah, menanam pohon, berbagi pengetahuan tentang pentingnya menjaga alam, maka kita sedang menulis syair baru: syair tentang harapan dan kelestarian.

Akhirnya, seperti kalimat pembuka dalam syair itu, "Dengarkanlah suara kicauan burung bulbul," marilah kita buka mata, telinga, dan hati untuk mendengarkan suara-suara dari alam yang selama ini kita abaikan. Tadabur alam bukan sekadar kegiatan, melainkan kesadaran. Dan, "Tob Tobi Tob" bukan hanya warisan sastra, tetapi panggilan untuk kembali mencintai semesta, seperti kita mencintai bait-bait puisi yang penuh pesona. Sebab sejatinya, bumi ini adalah kitab yang terbentang, dan setiap helai daunnya menyimpan hikmah yang menunggu untuk direnungkan.