Tiongkok Catatkan Tonggak Sejarah: Kapasitas Energi Hijau Melampaui Dominasi Bahan Bakar Fosil

Tiongkok Berhasil Melampaui Kapasitas Pembangkit Listrik Fosil dengan Energi Terbarukan

Kabar baik datang dari Tiongkok, dimana kapasitas energi terbarukan yang meliputi tenaga angin dan surya telah melampaui kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar fosil untuk pertama kalinya. Data dari Badan Energi Nasional Tiongkok (NEA) menunjukkan bahwa pada akhir Maret 2025, total kapasitas terpasang energi terbarukan mencapai 1.482 gigawatt (GW). Pencapaian ini menandai pergeseran signifikan dalam lanskap energi negara tersebut, yang selama ini dikenal sebagai konsumen batu bara terbesar di dunia.

Tantangan Integrasi Energi Terbarukan dalam Jaringan Nasional

Kendati demikian, laju pertumbuhan energi terbarukan ini juga menghadirkan tantangan tersendiri. Akses ke jaringan listrik menjadi isu krusial yang perlu diatasi. Meskipun kapasitas terpasang energi terbarukan telah melampaui pembangkit listrik konvensional, kontribusinya terhadap pasokan listrik nasional masih belum optimal. Data menunjukkan bahwa pada kuartal pertama 2025, energi angin dan surya hanya menyumbang 22,5% dari total listrik yang disalurkan ke konsumen, padahal kapasitas terpasangnya telah melebihi separuh dari total kapasitas pembangkit di Tiongkok. Hal ini mengindikasikan bahwa energi terbarukan belum sepenuhnya diprioritaskan dalam jaringan nasional, dimana pembangkit listrik berbahan bakar fosil masih memegang peranan penting.

Dilema Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara

Di tengah upaya untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara, Tiongkok justru terus membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru. Pada tahun 2025 saja, kapasitas baru pembangkit batu bara mencapai 99,5 GW. Pemerintah berdalih bahwa pembangkit batu bara diperlukan untuk menjaga stabilitas pasokan listrik, terutama karena energi terbarukan sangat bergantung pada kondisi cuaca yang tidak menentu. Pembangkit batu bara dianggap sebagai penopang "beban dasar" yang dapat diandalkan.

Implikasi terhadap Target Iklim Global

Situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen Tiongkok terhadap target iklim global. Sebagai negara penghasil emisi karbon dioksida (CO2) terbesar di dunia, Tiongkok memiliki peran penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Pemerintah telah berjanji untuk mulai mengurangi konsumsi batu bara antara tahun 2026-2030, dan menargetkan puncak emisi CO2 sebelum akhir dekade ini. Selain itu, Tiongkok juga telah berkomitmen dalam Perjanjian Paris untuk menurunkan intensitas karbon sebesar 65% dibandingkan tingkat tahun 2005 sebelum tahun 2030.

Namun, dengan terus beroperasinya pembangkit listrik tenaga batu bara baru, muncul kekhawatiran bahwa Tiongkok akan kesulitan mencapai target-target tersebut. Beberapa analis menilai bahwa pembangkit batu bara baru dapat menghambat pengembangan energi bersih dan memperlambat transisi menuju ekonomi rendah karbon. Keberhasilan Tiongkok dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan komitmen lingkungan akan menjadi krusial bagi masa depan iklim global.

Faktor Proteksionisme dan Dampaknya pada Pasar Domestik

Faktor lain yang mempengaruhi lanskap energi terbarukan Tiongkok adalah meningkatnya proteksionisme di pasar global. Lembaga investasi Natixis mencatat bahwa permintaan ekspor turbin dan panel surya buatan Tiongkok mengalami penurunan tahun ini. Akibatnya, Tiongkok memilih untuk memprioritaskan pasar domestik, meskipun jaringan listriknya belum siap untuk mengakomodasi kapasitas energi terbarukan yang besar. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar produksi listrik tenaga angin dan surya terbuang sia-sia, yang menunjukkan adanya inefisiensi dalam sistem energi.