Kembalinya Penjurusan SMA: Antara Nostalgia dan Tantangan Pendidikan Modern
Wacana pengembalian sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA/sederajat oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menuai beragam respons dari kalangan akademisi. Rencana ini muncul setelah penghapusan penjurusan yang baru berjalan kurang dari setahun, tepatnya sejak tahun ajaran 2024/2025 di era Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) sebelumnya.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, menjelaskan bahwa penjurusan akan diaktifkan kembali seiring dengan pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) bagi siswa kelas 12. TKA ini, meskipun tidak wajib, akan menjadi pertimbangan dalam seleksi masuk perguruan tinggi jalur non-tes, seperti Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Menurut Mu'ti, siswa yang memilih jurusan IPA nantinya dapat memilih mata pelajaran Fisika, Kimia, atau Biologi, sedangkan jurusan IPS akan menawarkan mata pelajaran seperti Akuntansi.
Menanggapi hal ini, Guru Besar Sosiologi Pendidikan dari Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. Tuti Budirahayu, M.Si., berpendapat bahwa sistem penjurusan model lama merupakan warisan kolonial yang sudah usang. Ia menilai bahwa sistem ini justru menghambat perkembangan siswa secara utuh. Menurutnya, banyak siswa yang terpaksa masuk jurusan IPA karena dianggap lebih unggul, padahal minat dan potensi mereka tidak di bidang tersebut. Akibatnya, mereka kesulitan memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakat mereka di perguruan tinggi.
Prof. Tuti menekankan pentingnya sistem pembelajaran yang fleksibel dan adaptif, yang mampu menyesuaikan dengan minat, bakat, serta potensi akademik dan non-akademik siswa. Ia mencontohkan sistem pendidikan di negara-negara maju, seperti Singapura, Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang, yang tidak lagi terpaku pada sistem penjurusan yang kaku. Di Singapura, siswa dapat memilih mata pelajaran lintas bidang, sementara di Amerika Serikat, siswa bebas memilih mata pelajaran sesuai minat dan rencana karier mereka. Jerman dan Jepang menawarkan jalur akademik dan vokasi, dengan model pendidikan dual system yang menggabungkan pembelajaran di sekolah dengan pelatihan kerja.
- Singapura: Pilihan mata pelajaran lintas bidang.
- Amerika Serikat: Kebebasan memilih mata pelajaran sesuai minat dan rencana karier.
- Jerman & Jepang: Jalur akademik dan vokasi dengan dual system (sekolah dan pelatihan kerja).
Prof. Tuti juga menyarankan agar pemerintah merancang blueprint atau cetak biru pendidikan nasional jangka panjang sebagai pedoman bagi pemerintahan selanjutnya. Ia mencontohkan program Sekolah Rakyat yang berpotensi mengorbankan sekolah-sekolah dengan fasilitas terbatas karena kurangnya evaluasi mendalam. Terkait dengan TKA dalam SNBP, Prof. Tuti tidak keberatan asalkan alat validasi rapor tersebut mampu mengukur potensi akademik siswa secara valid dan akurat.
Prof. Tuti mengingatkan pemerintah untuk menghindari kebijakan yang tumpang tindih, tidak mengakar, dan tidak didasarkan pada kajian data yang komprehensif. Ia menekankan pentingnya inovasi dan reformasi pendidikan jangka panjang, serta perlunya arah yang jelas bagi pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan tujuan pendidikan nasional, setidaknya untuk 25 hingga 50 tahun ke depan. Kebijakan pendidikan tidak boleh berubah setiap kali terjadi pergantian rezim atau menteri.