Kenaikan Batas Penghasilan Rumah Subsidi Tuai Kritik: Sasaran MBR Dipertanyakan
Pemerintah baru-baru ini menaikkan batasan penghasilan maksimal bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang memenuhi syarat untuk program rumah subsidi. Kebijakan ini, yang menetapkan angka tertinggi di wilayah Jabodetabek dengan Rp 12 juta untuk individu lajang dan Rp 14 juta untuk pasangan menikah, menuai kritik dan kekhawatiran dari berbagai pihak.
CEO Indonesia Properti Watch (IPW), Ali Tranghanda, mempertanyakan relevansi pengkategorian MBR terhadap masyarakat dengan penghasilan mencapai Rp 14 juta. Ia mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap segmentasi pasar yang diklasifikasikan sebagai MBR. Menurutnya, kenaikan batasan penghasilan ini berpotensi mengaburkan definisi MBR yang sebenarnya.
Tranghanda mengakui bahwa kebijakan ini dapat memperluas akses masyarakat terhadap kepemilikan rumah. Namun, ia menekankan bahwa fokus utama seharusnya bukan hanya pada peningkatan batasan penghasilan, tetapi juga pada ketersediaan kuota rumah subsidi yang memadai. Kekurangan kuota yang terjadi hampir setiap tahun dapat menyebabkan kesulitan arus kas bagi pengembang akibat pencairan dana dari bank yang terhambat. Selain itu, ia berpendapat bahwa individu dengan penghasilan Rp 14 juta mungkin tidak tertarik untuk membeli rumah subsidi, sehingga pemerintah perlu lebih cermat dalam mengidentifikasi target pasar MBR yang sebenarnya.
Kekhawatiran lain yang diungkapkan adalah potensi persaingan tidak sehat antara MBR dengan penghasilan di bawah Rp 8 juta dengan mereka yang berpenghasilan Rp 14 juta dalam memperebutkan rumah subsidi. Tranghanda menyarankan agar masyarakat dengan penghasilan antara Rp 8 juta hingga Rp 14 juta dikategorikan sebagai kelompok menengah dan diberikan insentif serta suku bunga yang berbeda dari MBR.
"Apabila disepakati bahwa penghasilan Rp 14 juta termasuk dalam kategori menengah, maka pemerintah harus menyediakan hunian menengah yang kualitas dan fasilitasnya lebih baik dari rumah subsidi, meskipun dengan insentif dan suku bunga yang lebih tinggi. Dengan demikian, akan ada segmentasi yang jelas," jelas Ali.
Senada dengan Tranghanda, Konsultan Properti Anton Sitorus juga berpendapat bahwa masyarakat dengan penghasilan Rp 14 juta seharusnya tidak lagi masuk dalam kategori MBR, mengingat penghasilan tersebut hampir tiga kali lipat Upah Minimum Provinsi (UMP) di Jakarta. Ia mengkhawatirkan bahwa masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp 7 juta akan semakin sulit bersaing untuk mendapatkan rumah subsidi.
Sitorus menjelaskan bahwa individu dengan penghasilan Rp 14 juta umumnya telah memiliki tabungan yang cukup dan pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) mereka cenderung lebih mudah disetujui oleh bank karena risiko gagal bayar yang lebih rendah. Ia mencontohkan, dengan penghasilan Rp 14 juta, cicilan maksimal yang dapat diambil adalah sekitar Rp 4,2 juta atau 30% dari penghasilan. Rumah dengan cicilan sebesar itu biasanya adalah rumah komersial yang dibangun oleh pengembang swasta.
"Dari sudut pandang keadilan, khususnya bagi masyarakat itu sendiri, kebijakan ini dapat menjadi bumerang," ungkap Sitorus. Ia menambahkan bahwa pengembang cenderung memilih pembeli dengan penghasilan lebih tinggi karena risiko gagal bayar yang lebih rendah, sehingga memperkecil peluang masyarakat berpenghasilan rendah untuk membeli rumah subsidi.
Sebagai informasi, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait telah secara resmi mengeluarkan kebijakan baru terkait kriteria MBR, yang mengatur kenaikan batas maksimum penghasilan penerima rumah subsidi hingga Rp 14 juta untuk wilayah Jabodetabek. Batas gaji untuk MBR lajang dinaikkan dari Rp 7 juta menjadi Rp 12 juta, sementara untuk MBR yang sudah menikah, batasnya naik dari Rp 8 juta menjadi Rp 14 juta.
Selain Jabodetabek, daerah lain juga mengalami kenaikan batas gaji maksimal untuk MBR, dengan detail lebih lanjut tersedia dalam pengumuman resmi pemerintah.