Indonesia Genjot Investasi Hijau: APBN dan Sektor Swasta Bersinergi Atasi Perubahan Iklim

Pemerintah Indonesia terus berupaya keras dalam menangani isu perubahan iklim dengan mengoptimalkan berbagai sumber pendanaan, baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun melalui peningkatan peran aktif sektor swasta. Dalam delapan tahun terakhir, dari tahun 2016 hingga 2023, APBN telah mengalokasikan dana sebesar Rp 610,12 triliun untuk berbagai aksi terkait iklim. Alokasi ini setara dengan rata-rata Rp76,3 triliun per tahun atau sekitar 3,2 persen dari total APBN.

Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF Kementerian Keuangan, Boby Wahyu Hernawan, menyatakan bahwa meskipun angka ini signifikan, namun masih mencakup 12,3 persen dari total kebutuhan pembiayaan iklim hingga tahun 2030. Hal ini menunjukkan perlunya upaya lebih lanjut untuk meningkatkan investasi dalam sektor-sektor yang mendukung keberlanjutan.

Salah satu potensi besar dalam transisi menuju ekonomi hijau adalah peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa transisi energi dapat memberikan tambahan pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 1 hingga 1,5 persen per tahun hingga tahun 2030. Pertumbuhan ini diharapkan berasal dari berbagai faktor, termasuk investasi di sektor energi terbarukan, diversifikasi industri, dan penciptaan lapangan kerja baru.

Investasi global dalam manufaktur energi bersih juga mengalami peningkatan pesat. Hal ini didorong oleh kebijakan industri yang mendukung dan peningkatan permintaan pasar. Lonjakan investasi ini tidak hanya memacu inovasi teknologi, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru di sektor energi bersih.

Pemerintah terus berupaya mengoptimalkan pembiayaan publik sambil mendorong partisipasi aktif dari sektor swasta. Berbagai insentif fiskal telah diberikan oleh Kementerian Keuangan untuk mendukung sektor terkait iklim, termasuk pembangkit listrik terbarukan dan kendaraan listrik. Insentif fiskal yang telah diberikan sejak tahun 2019 hingga 2024 tercatat sebesar Rp38,8 triliun, dan diperkirakan akan mencapai Rp51,5 triliun hingga akhir tahun 2025.

Selain itu, Kementerian Keuangan juga mengembangkan berbagai skema pembiayaan inovatif, seperti green sukuk, SDG bonds, dan taksonomi keuangan berkelanjutan. Skema-skema ini bertujuan untuk menarik investasi dari berbagai sumber, termasuk investor yang peduli terhadap isu lingkungan dan sosial.

Di luar APBN, pemerintah juga mengandalkan blended finance, yang merupakan kombinasi pendanaan dari sektor publik dan swasta. Model ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pembiayaan iklim dengan menggabungkan keahlian dan sumber daya dari kedua sektor.

Pemerintah juga mendorong pelaku usaha untuk lebih aktif dalam mengurangi emisi karbon melalui berbagai cara, seperti efisiensi energi, penerapan ekonomi sirkular, dan penggunaan teknologi rendah emisi. Implementasi climate budget tagging dan dukungan terhadap kebijakan nilai ekonomi karbon, yang kini telah dibuka untuk pasar domestik dan internasional, juga menjadi fokus utama.

Dengan sinergi antara APBN dan investasi swasta, Indonesia berupaya untuk mencapai target penurunan emisi dan membangun ekonomi yang lebih berkelanjutan. Langkah-langkah ini diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi jangka panjang, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.