Batas Gaji Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) Naik, Pengembang Sambut Baik Peluang Pasar Baru
Kabar baik bagi industri properti subsidi tanah air. Pemerintah secara resmi menaikkan batas maksimal penghasilan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) menjadi Rp 14 juta. Keputusan ini membuka peluang pasar yang lebih luas bagi para pengembang perumahan subsidi.
Pengumuman kenaikan batas penghasilan MBR ini disambut antusias oleh para pelaku industri. Ketua Umum Aliansi Pengembang Perumahan Nasional Jaya (Apernas Jaya), Andriliwan Mohamad, menyatakan apresiasi atas langkah pemerintah ini. Ia meyakini kebijakan ini akan mempermudah masyarakat untuk memiliki rumah.
"Dengan adanya aturan baru ini, alhamdulillah," ujarnya saat menghadiri acara pengumuman aturan di Kementerian Hukum, Jakarta Selatan. Menurutnya, selama ini banyak masyarakat dengan penghasilan di atas batas MBR sebelumnya, seperti di wilayah Sulawesi Tengah dengan penghasilan mencapai Rp 15 juta hingga Rp 20 juta, tidak dapat mengakses fasilitas rumah subsidi.
Ketua Umum Asosiasi Pengembangan dan Pemasaran Rumah Nasional (Asprumnas), Muhamad Syawali Pratna, menyoroti pentingnya kejelasan terkait harga rumah yang dapat dibeli oleh MBR dengan penghasilan baru ini. Ia mengusulkan adanya segmentasi penghasilan dalam kategori MBR, yang ia sebut sebagai Masyarakat Berpenghasilan Tanggung atau Tengah (MBT), agar mereka tidak harus membeli rumah subsidi dengan harga terendah.
Syawali juga menyinggung soal ketentuan kredit scoring dari perbankan, terutama di wilayah dengan upah minimum regional (UMR) rendah seperti Jawa Tengah. Ia mengusulkan agar perbankan mempertimbangkan penyesuaian skoring kredit agar lebih banyak masyarakat berpenghasilan rendah dapat mengakses KPR subsidi.
Ketua Umum DPP Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Ari Tri Priyono, menambahkan bahwa kenaikan batas gaji MBR tidak hanya memperluas pasar perumahan subsidi, tetapi juga perlu diimbangi dengan penyesuaian harga jual rumah subsidi. Ia mengusulkan agar pemerintah juga memberikan perhatian pada segmen rumah dengan harga Rp 200 juta hingga Rp 400 juta, yang ia sebut sebagai rumah MBT, dengan memberikan subsidi yang sesuai.
Wakil Ketua Umum Apersi, Mohamad Solikin, menekankan pentingnya sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah agar implementasi aturan baru ini berjalan lancar. Ia mencontohkan adanya perbedaan peraturan di tingkat daerah yang masih menggunakan batas penghasilan MBR yang lama.
Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto, mengapresiasi sinergi antara Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Kementerian Hukum, dan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam merumuskan kebijakan ini. Ia menyoroti perlunya profiling terhadap backlog perumahan yang mencapai 9,9 juta unit agar pembangunan perumahan dapat lebih tepat sasaran.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, sebelumnya telah mengeluarkan kebijakan terkait kriteria MBR, termasuk kenaikan batas maksimum penghasilan penerima rumah subsidi di wilayah Jabodetabek menjadi Rp 14 juta bagi yang sudah menikah. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman No. 5 Tahun 2025.
Dengan adanya penyesuaian batas penghasilan MBR ini, diharapkan semakin banyak masyarakat Indonesia yang dapat memiliki hunian layak dan terjangkau. Kebijakan ini juga menjadi angin segar bagi para pengembang perumahan subsidi untuk terus berinovasi dan menyediakan produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar yang semakin luas.