Bank Dunia Revisi Turun Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Reformasi Struktural Mendesak
Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Reformasi Struktural Jadi Kunci
Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk periode 2025-2027, menjadi rata-rata 4,8 persen. Proyeksi yang lebih rendah ini, tertuang dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2024, didasarkan pada kekhawatiran atas ketidakpastian kebijakan perdagangan global dan domestik, yang berpotensi mengurangi minat investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Lembaga keuangan internasional tersebut menekankan bahwa, meskipun konsumsi domestik tetap menjadi pilar utama, ekonomi Indonesia menghadapi kendala struktural yang signifikan dan perlambatan dalam produktivitas. Kondisi ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan reformasi komprehensif untuk mencapai target pertumbuhan jangka panjang yang telah ditetapkan pemerintah.
"Pertumbuhan diproyeksikan akan melambat menjadi rata-rata 4,8 persen hingga 2027. Ketidakpastian kebijakan perdagangan dan penurunan harga komoditas akan memengaruhi kepercayaan investor dan daya saing ekspor Indonesia," demikian pernyataan Bank Dunia dalam laporan tersebut.
Indonesia, yang telah naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah atas pada tahun 2023, memiliki ambisi besar untuk menjadi negara maju pada tahun 2045. Untuk mewujudkan visi ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen pada tahun 2029. Namun, Bank Dunia berpendapat bahwa target ambisius ini akan sulit dicapai tanpa percepatan reformasi struktural dan peningkatan produktivitas yang signifikan.
Data menunjukkan bahwa produktivitas total mengalami penurunan, dari 2,3 persen pada tahun 2011 menjadi hanya 1,2 persen pada tahun 2024. Penurunan ini mengkhawatirkan dan mengindikasikan adanya masalah mendasar dalam alokasi sumber daya ekonomi.
"Hambatan struktural menghalangi alokasi sumber daya ke sektor yang paling produktif. Ini membuat pertumbuhan produktivitas menurun terus-menerus," tegas Bank Dunia.
Konsumsi Kuat, Investasi Belum Optimal
Saat ini, ekonomi Indonesia masih bertumpu pada kekuatan konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2024 berhasil dipertahankan di level 5 persen, berkat dorongan dari belanja terkait pemilu dan pertumbuhan pesat di sektor jasa. Namun, sektor manufaktur, khususnya industri tekstil, mengalami perlambatan yang mengakibatkan lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 20,2 persen.
Investasi, yang merupakan faktor kunci untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Bank Dunia memperkirakan bahwa pembentukan modal tetap bruto baru akan meningkat secara bertahap seiring dengan realisasi investasi melalui Dana Abadi Nasional (Danantara).
Penerimaan Negara Rendah dan Defisit Anggaran Melebar
Laporan Bank Dunia juga menyoroti masalah krusial terkait rasio penerimaan negara terhadap PDB Indonesia, yang hanya mencapai 12,7 persen pada tahun 2024. Angka ini merupakan yang terendah di antara negara-negara berkembang lain dengan tingkat pendapatan yang sama.
"Pendapatan negara yang hilang diperkirakan mencapai 6,4 persen dari PDB. Menutup celah ini penting untuk memperluas ruang fiskal demi mewujudkan Visi Indonesia 2045," jelas laporan tersebut.
Akibat tekanan dari melemahnya harga komoditas dan masalah teknis dalam sistem perpajakan, penerimaan negara mengalami penurunan, yang menyebabkan defisit anggaran melebar menjadi 2,3 persen dari PDB.
Tekanan pada Rupiah dan Defisit Transaksi Berjalan Meningkat
Nilai tukar rupiah mengalami tekanan sejak awal tahun 2024, terutama disebabkan oleh meningkatnya permintaan dolar AS untuk pembayaran utang luar negeri dan dividen. Depresiasi rupiah tercatat mencapai 2,3 persen hingga bulan Maret.
Transaksi berjalan juga mengalami defisit sebesar 0,6 persen dari PDB pada tahun 2024, dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 1,7 persen pada tahun 2027. Meskipun demikian, cadangan devisa mengalami peningkatan karena adanya kebijakan repatriasi devisa hasil ekspor sumber daya alam.
Tantangan ke Depan dan Risiko
Bank Dunia mengingatkan bahwa penciptaan lapangan kerja berkualitas masih menjadi tantangan besar. Meskipun tingkat pengangguran menurun menjadi 4,8 persen, angka setengah pengangguran justru meningkat menjadi 8,5 persen. Kenaikan upah riil yang tercatat sebesar 3,3 persen dinilai belum cukup untuk meningkatkan daya beli masyarakat secara menyeluruh.
Laporan ini juga memperkirakan bahwa belanja negara akan lebih difokuskan pada program-program sosial, termasuk Program Makanan Bergizi, yang berpotensi meningkatkan defisit anggaran menjadi 2,7 persen. Rasio utang diproyeksikan akan meningkat menjadi 41,4 persen dari PDB pada tahun 2027, dengan beban bunga yang meningkat hingga 19 persen dari total pendapatan negara.
Secara keseluruhan, Bank Dunia memberikan peringatan bahwa prospek ekonomi Indonesia menghadapi risiko penurunan. Ketidakpastian kebijakan perdagangan, harga komoditas yang lemah, dan ketidakpastian kebijakan dalam negeri dapat menjadi tantangan serius bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.