Sri Mulyani Ungkap Strategi Indonesia dalam Menghadapi Kebijakan Tarif AS: Manfaatkan Keuntungan Sebagai Penggerak Awal

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pandangannya mengenai dinamika perang tarif global dan strategi yang dapat ditempuh Indonesia dalam menghadapinya. Pernyataan ini muncul di tengah berlangsungnya berbagai forum internasional, termasuk pertemuan Bank Dunia, IMF, dan AMF, serta serangkaian negosiasi tarif antara berbagai negara dengan Amerika Serikat (AS).

Sri Mulyani menyoroti pesan khusus yang disampaikan AS dalam forum-forum tersebut, yaitu keinginan untuk menyeimbangkan kembali hubungan dagang dengan mitra-mitranya. Rebalancing ini diharapkan dapat dicapai melalui koreksi internal di AS serta penyesuaian dari negara-negara mitra dagang, sehingga tercipta hubungan yang dianggap adil bagi kedua belah pihak. Proses rebalancing ini diperkirakan akan memakan waktu dua hingga tiga tahun, tergantung pada negara yang bernegosiasi dengan AS.

Saat ini, tarif timbal balik sebesar 10 persen masih berlaku selama 90 hari. Pemberlakuan tarif ini telah memengaruhi sejumlah indikator ekonomi, seperti penurunan jumlah pengiriman barang antar negara. Dampak terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global juga menjadi perhatian utama bagi para pembuat kebijakan.

Dalam pembicaraan dengan perwakilan AS, Scott Bessent, terungkap bahwa Indonesia memiliki potensi keuntungan dalam negosiasi karena telah bergerak cepat. Bessent menyatakan bahwa Presiden Trump cenderung menghargai negara-negara yang mengambil inisiatif awal. Oleh karena itu, Indonesia sebagai "early mover" berpotensi mendapatkan keuntungan.

Meski demikian, Sri Mulyani menekankan bahwa keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden Donald Trump. Oleh karena itu, seluruh jalur komunikasi dan penyampaian proposal yang saling menguntungkan bagi Indonesia dan AS menjadi sangat penting.

Sebagai informasi tambahan, Presiden Trump sebelumnya mengumumkan kebijakan tarif resiprokal pada 2 April 2025, yang berdampak pada Indonesia dengan potensi kenaikan tarif impor hingga 32 persen. Beberapa negara memilih untuk melakukan retaliasi, sementara Indonesia memilih jalur negosiasi. Sebagai tanggapan, AS menunda penerapan tarif resiprokal selama 90 hari bagi negara-negara yang tidak melakukan retaliasi, termasuk Indonesia, meskipun tarif dasar universal sebesar 10 persen tetap berlaku.

Dampak Tarif dan Strategi Indonesia

Indonesia, di tengah dinamika perdagangan global yang kompleks, memilih jalur negosiasi untuk menghadapi kebijakan tarif yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Keputusan ini diambil sebagai respons terhadap potensi dampak negatif tarif impor yang naik hingga 32 persen.

  • Negosiasi sebagai Strategi Utama: Pemerintah Indonesia memandang bahwa negosiasi adalah cara terbaik untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan dengan AS. Pendekatan ini berbeda dengan beberapa negara lain yang memilih untuk melakukan tindakan balasan (retaliasi).

  • Keuntungan sebagai Penggerak Awal: Menkeu Sri Mulyani menekankan keuntungan yang didapatkan Indonesia sebagai negara yang bergerak cepat (early mover) dalam merespons kebijakan tarif AS. Pendekatan proaktif ini dihargai oleh pihak AS dan dapat memberikan posisi yang lebih baik dalam negosiasi.

  • Fokus pada Komunikasi: Komunikasi yang efektif dan penyampaian proposal yang saling menguntungkan menjadi kunci dalam menjalin hubungan yang konstruktif dengan AS. Pemerintah Indonesia berupaya untuk menjaga jalur komunikasi tetap terbuka dan aktif.

  • Antisipasi Dampak Ekonomi: Pemerintah Indonesia terus memantau dan mengantisipasi dampak dari kebijakan tarif terhadap perekonomian. Langkah-langkah antisipasi diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan melindungi kepentingan nasional.

  • Ketergantungan pada Keputusan Presiden Trump: Sri Mulyani menekankan bahwa keputusan akhir mengenai tarif berada di tangan Presiden Trump. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu membangun hubungan yang baik dengan pemerintahan AS dan menyampaikan argumen yang kuat untuk kepentingan Indonesia.