Revisi KUHAP Didorong Atur Standar "Live Streaming" Persidangan untuk Cegah Diskriminasi Hakim

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyerukan perlunya pengaturan komprehensif mengenai live streaming persidangan dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Usulan ini muncul sebagai respons terhadap potensi ketidakadilan dan inkonsistensi yang mungkin timbul jika standar yang jelas tidak ditetapkan.

Peneliti ICJR, Iftitah Sari, menekankan bahwa tanpa panduan yang jelas, hakim dapat memiliki keleluasaan yang tidak terkontrol dalam menentukan persidangan mana yang boleh disiarkan secara langsung dan mana yang tidak. Hal ini dapat membuka celah bagi praktik diskriminatif dan kurangnya akuntabilitas. "Teknisnya akan seperti apa karena kalau enggak bahaya juga nanti hakim bisa jadi inkonsisten; di satu keadaan dia kasih, di keadaan lain dia enggak, dan enggak ada mekanisme pertanggung jawabannya juga kalau enggak punya acuan ujinya, standarnya seperti apa," kata Iftitah.

Isu live streaming persidangan ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat sipil. Sebagian pihak berpendapat bahwa live streaming penting untuk transparansi dan pengawasan publik terhadap proses peradilan. Namun, ada pula kekhawatiran bahwa hal itu dapat membahayakan terdakwa dan saksi.

Potensi Bahaya Live Streaming

  • Pengaruh pada Saksi: Saksi yang mendengar keterangan satu sama lain melalui live streaming dapat terpengaruh dalam memberikan kesaksian.
  • Trial by Press: Live streaming dapat memperburuk potensi trial by press, di mana opini publik yang terbentuk sebelum putusan pengadilan dapat memengaruhi hasil persidangan.
  • Presumption of Innocence: Live streaming dapat mengancam asas praduga tak bersalah yang seharusnya melindungi terdakwa.

Sebagai solusi, diusulkan agar izin live streaming diberikan berdasarkan konteks tindak pidana. Kasus-kasus yang berdampak luas pada masyarakat, seperti korupsi atau kejahatan lingkungan, dianggap perlu diizinkan untuk disiarkan secara langsung.

Iftitah menjelaskan bahwa jalan tengah yang mungkin adalah mengizinkan live streaming dengan izin dan pertimbangan dari pengadilan. Namun, ia menegaskan bahwa mekanisme perizinan ini harus diatur secara rinci dan transparan untuk menghindari penyalahgunaan.

Usulan ICJR ini muncul setelah advokat Juniver Girsang mengusulkan larangan live streaming persidangan oleh media dalam revisi KUHAP. Girsang khawatir bahwa live streaming dapat memengaruhi keterangan saksi. Ia mengusulkan agar live streaming hanya diperbolehkan dengan izin dari majelis hakim dan dengan pertimbangan yang matang.

Kontroversi seputar live streaming persidangan menunjukkan kompleksitas dalam menyeimbangkan transparansi peradilan dengan hak-hak terdakwa dan saksi. Pengaturan yang tepat dalam revisi KUHAP diharapkan dapat menemukan titik keseimbangan yang adil dan melindungi semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan.