Paradoks Kendaraan Listrik: Antara Ambisi Dekarbonisasi dan Ketergantungan Energi Fosil
Kendaraan Listrik: Simbol Kemajuan atau Sekadar Pengalihan Emisi?
Gelombang kendaraan listrik (EV) tengah menyapu dunia, didorong oleh kesadaran lingkungan yang semakin meningkat. Pada tahun 2024, penjualan global kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) dan hibrida plug-in (PHEV) mengalami lonjakan signifikan sebesar 26,1% dibandingkan tahun sebelumnya. Pabrikan asal Tiongkok, BYD, memimpin pasar dengan penjualan mencapai 3,84 juta unit, menguasai lebih dari seperlima pangsa pasar global dan melampaui dominasi Tesla. Merek-merek Tiongkok lainnya seperti Wuling, Li Auto, Geely, Aito, dan Aion juga turut meramaikan persaingan, mengukuhkan posisi Tiongkok sebagai pemain utama dalam industri kendaraan listrik.
Di Indonesia, tren serupa juga terlihat. Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan pertumbuhan penjualan mobil listrik sebesar 161% pada tahun 2024. BYD dan Wuling kembali mendominasi pasar, diikuti oleh Hyundai. Meskipun penjualan BEV masih terbatas, fenomena ini menandakan pergeseran menuju elektrifikasi transportasi di Tanah Air.
Namun, di balik gemerlap popularitas kendaraan listrik, muncul paradoks yang perlu dicermati. Sebuah studi dari Universitas Auckland, Selandia Baru, dan Universitas Xiamen, Tiongkok, mengungkap bahwa peningkatan penggunaan kendaraan listrik justru dapat meningkatkan emisi CO2 di beberapa negara. Hal ini terjadi ketika sumber energi listrik yang digunakan untuk mengisi daya kendaraan listrik masih bergantung pada pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara atau minyak. Dengan kata lain, kendaraan listrik hanya memindahkan emisi dari knalpot ke pembangkit listrik.
Energi Terbarukan: Kunci Sejati Dekarbonisasi Transportasi
Studi tersebut menekankan pentingnya transisi menuju energi terbarukan secara global. Penggunaan kendaraan listrik baru akan memberikan dampak positif terhadap pengurangan emisi CO2 jika pangsa energi terbarukan dalam pembangkit listrik mencapai 48%. Data dari lembaga think tank energi, Ember, menunjukkan bahwa pada tahun 2024, pangsa energi terbarukan telah mencapai rekor tertinggi sebesar 32%. Angka ini melampaui pembangkit listrik tenaga gas (22%), tetapi masih di bawah kontribusi batu bara (34%).
Indonesia menghadapi tantangan tersendiri dalam meningkatkan bauran energi terbarukan. Saat ini, kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia baru mencapai 12,5%. Keterbatasan anggaran dan perubahan geopolitik diperkirakan akan memengaruhi kebijakan energi di masa depan. Prioritas mungkin akan diberikan pada eksplorasi energi fosil demi ketahanan energi domestik dan stabilitas finansial pemerintah.
Oleh karena itu, pencapaian pangsa energi terbarukan sebesar 32% secara global harus terus ditingkatkan. Target 48%, seperti yang disarankan oleh studi Universitas Auckland dan Universitas Xiamen, harus menjadi acuan untuk memastikan bahwa kendaraan listrik benar-benar berkontribusi pada upaya dekarbonisasi sektor transportasi.
Masa Depan Kendaraan Listrik: Inovasi dan Komitmen Global
Temuan studi tersebut tidak boleh dilihat sebagai vonis terhadap kendaraan listrik, melainkan sebagai pengingat akan pentingnya sinergi antara elektrifikasi transportasi dan transisi energi. Teknologi kendaraan listrik mungkin belum sempurna, tetapi inovasi terus berlanjut. Sejarah membuktikan bahwa kemajuan teknologi adalah hasil dari proses perbaikan yang berkelanjutan.
Kendaraan listrik bukan hanya solusi untuk mengurangi emisi, tetapi juga bagian dari masa depan transportasi yang lebih berkelanjutan. Dengan komitmen global untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan, kendaraan listrik berpotensi menjadi motor penggerak dekarbonisasi sektor transportasi. Urgensi kendaraan listrik di abad 21 adalah dekarbonisasi di sektor transportasi. Studi mutakhir oleh The International Council on Clean Transportation menyebut, tahun ini emisi dari transportasi darat secara global bakal melejit menjadi sembilan gigaton. Ini adalah prediksi yang suram, sebab di tahun 2024 saja, transportasi merupakan sektor penyumbang emisi gas rumah kaca nomor dua secara global.
Emisi gas rumah kaca bukan perkara kendaraan listrik semata, kendaraan berbahan bakar fosil lebih parah dalam memuntahkan emisi. Karena sumber listrik untuk kendaraan listrik belum sepenuhnya dipasok dari energi terbarukan, bukan berarti kita harus berpisah dengannya.
Berikut adalah beberapa tantangan yang perlu diatasi untuk mewujudkan potensi penuh kendaraan listrik:
- Infrastruktur pengisian daya: Memastikan ketersediaan stasiun pengisian daya yang memadai, terutama di daerah-daerah terpencil.
- Pengelolaan limbah baterai: Mengembangkan sistem daur ulang baterai yang efisien dan ramah lingkungan.
- Harga kendaraan listrik: Menurunkan harga kendaraan listrik agar lebih terjangkau bagi masyarakat luas.
- Ketergantungan pada energi fosil: Mempercepat transisi menuju energi terbarukan untuk mengurangi emisi dari pembangkit listrik.
Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini, kendaraan listrik dapat menjadi bagian penting dari solusi untuk mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.