Evolusi Taman Margasatwa Ragunan: Dari Kebun Binatang Cikini Hingga Pusat Konservasi Modern
Taman Margasatwa Ragunan, sebuah oase hijau di tengah hiruk pikuk Jakarta Selatan, menyimpan sejarah panjang yang dimulai jauh sebelum lokasinya saat ini. Banyak yang mungkin tidak mengetahui bahwa cikal bakal kebun binatang kebanggaan ibu kota ini berawal di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.
Kisah ini bermula pada tahun 1864, ketika Vereeniging Planten en Dierentuin te Batavia atau Lembaga Botani dan Kebun Binatang Batavia didirikan. Lembaga ini kemudian aktif mengelola sebuah kebun binatang yang berlokasi strategis di jantung kota. Raden Saleh, seorang pelukis ternama dan tokoh penting dalam seni lukis modern Hindia Belanda, memiliki peran penting dalam pendirian kebun binatang ini. Ia menghibahkan sebagian tanah miliknya di Jalan Cikini Raya No. 73 untuk mewujudkan sebuah kebun binatang seluas 10 hektar yang kemudian dikenal dengan nama Bataviaasche Planten-en Dierentuin.
Kebun Binatang Cikini menjadi daya tarik tersendiri bagi warga Batavia. Koleksi hewannya mencapai sekitar 800 ekor dari 174 spesies, mulai dari hewan buas hingga hewan jinak, hewan langka hingga hewan peliharaan yang menggemaskan. Setiap bulannya, kebun binatang ini dikunjungi oleh sekitar 50.000 orang. Selain koleksi hewannya, Kebun Binatang Cikini juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti arena bermain anak, area jajanan, dan bahkan restoran mewah bernama Garden Hall.
Namun, seiring dengan perkembangan kota Jakarta, kawasan Cikini menjadi semakin padat. Hal ini membuat lokasi Kebun Binatang Cikini dirasa kurang ideal. Pada tahun 1964, Gubernur Soemarno mengambil langkah visioner dengan membentuk badan khusus yang bertugas untuk memindahkan kebun binatang ke lokasi yang lebih luas dan representatif di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pemerintah kemudian menghibahkan lahan seluas 30 hektar untuk relokasi ini, dan sekitar 450 satwa dari koleksi terakhir Kebun Binatang Cikini dipindahkan ke tempat yang baru.
Setelah relokasi, luas area kebun binatang ini terus berkembang pesat hingga mencapai lebih dari 140 hektar. Pada tanggal 22 Juni 1966, Gubernur Ali Sadikin secara resmi membuka Taman Margasatwa Ragunan. Ali Sadikin dalam bukunya Gita Jaya (1977), menyebutkan bahwa Ragunan memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai tempat rekreasi, pendidikan, penelitian, konservasi, dan karantina satwa. Lokasinya yang berada di pinggiran kota dan dikelilingi oleh alam membuat Ragunan menjadi tempat yang ideal untuk konservasi tumbuhan.
Saat ini, Taman Margasatwa Ragunan memiliki koleksi sekitar 2.000 spesimen flora dan fauna, dengan lebih dari 50.000 pohon alami yang tumbuh di dalamnya. Pada tahun 2002, Taman Margasatwa Ragunan semakin lengkap dengan hadirnya Pusat Primata Schmutzer, sebuah fasilitas konservasi seluas 13 hektar yang dirancang sebagai kebun binatang terbuka. Di tempat ini, orangutan, simpanse, dan berbagai primata langka lainnya hidup seperti di habitat aslinya. Pengunjung yang memasuki Pusat Primata Schmutzer akan melewati gerbang berbentuk lingkaran dengan kubah besar, lalu menaiki tangga menuju jembatan pejalan kaki. Dari jembatan ini, pengunjung dapat mengamati gorila yang hidup bebas di bawahnya.
Perjalanan panjang Taman Margasatwa Ragunan, dari Kebun Binatang Cikini hingga menjadi pusat konservasi modern, bukan hanya sekadar cerita tentang sebuah tempat wisata. Ini adalah kisah tentang evolusi ruang hidup, sejarah kota, dan upaya berkelanjutan untuk menjaga keanekaragaman hayati di tengah dinamika perkembangan Ibu Kota. Ragunan terus memainkan peran penting dalam melestarikan alam dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan dan keanekaragaman hayati Indonesia.