Dedi Mulyadi Tegaskan Penghentian Hibah Keagamaan Bukan Bentuk Anti Agama

Dedi Mulyadi, mantan Gubernur Jawa Barat, memberikan klarifikasi terkait keputusannya untuk menghentikan sementara dana hibah keagamaan. Penjelasan ini muncul sebagai tanggapan atas berbagai spekulasi yang berkembang di masyarakat, yang menyebutkan bahwa langkah tersebut didasari oleh sentimen anti agama.

Dalam keterangannya, Dedi Mulyadi menegaskan bahwa tindakan yang diambilnya justru bertujuan untuk memastikan dana publik digunakan secara lebih efektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Ia menyoroti adanya praktik penyaluran dana hibah yang tidak merata, di mana sejumlah yayasan tertentu, terutama yang memiliki kedekatan politik atau akses khusus ke pemerintah daerah, menerima alokasi dana yang sangat besar. Kondisi ini, menurutnya, menciptakan ketidakadilan bagi lembaga keagamaan lain yang lebih membutuhkan.

"Saya tidak ingin uang dari Jawa Barat hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, apalagi orang-orang yang itu-itu saja," ujar Dedi Mulyadi, seperti dikutip dari kanal YouTube Lembur Pakuan, Jumat (25/4/2025).

Ia mencontohkan kasus di Kabupaten Garut, di mana total dana hibah yang diterima oleh yayasan-yayasan tertentu mencapai angka yang fantastis, yaitu antara Rp 300 miliar hingga Rp 500 miliar. Bahkan, terdapat satu yayasan yang menerima kucuran dana hingga Rp 5 miliar. Menurutnya, alokasi dana seperti ini tidak mencerminkan prinsip keadilan dan pemerataan yang seharusnya menjadi landasan penyaluran dana publik.

Lebih lanjut, Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa ia ingin mengubah pendekatan penyaluran dana hibah keagamaan. Ia tidak lagi ingin menggunakan pendekatan aspirasi, yang dinilainya rentan terhadap praktik nepotisme dan favoritisme. Sebagai gantinya, ia mengusulkan pendekatan pembangunan yang lebih terukur dan transparan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Dedi Mulyadi telah meminta data dari Kementerian Agama (Kemenag) mengenai jumlah madrasah yang membutuhkan bantuan pembangunan atau renovasi. Data ini akan digunakan sebagai dasar untuk mengalokasikan dana secara lebih tepat sasaran dan efektif.

"Pemerintah Provinsi siap membangun," tegasnya.

Dengan pendekatan pembangunan ini, Dedi Mulyadi berharap dana hibah keagamaan dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat luas, terutama bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam yang membutuhkan dukungan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan fasilitasnya.

Ia juga menegaskan bahwa kritiknya terhadap praktik penyaluran dana hibah yang tidak adil tidak boleh disalahartikan sebagai sikap anti agama. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa tindakan tersebut justru sejalan dengan nilai-nilai agama yang menjunjung tinggi keadilan dan pemerataan.

"Bukan saya anti agama, bukan. Justru sikap-sikap seperti itu bertentangan dengan agama," tegasnya.

Ia menambahkan bahwa tokoh-tokoh agama seharusnya menjadi teladan dalam mengelola dana publik secara amanah dan bertanggung jawab. Dana bantuan, menurutnya, seharusnya digunakan untuk kepentingan umat secara luas, bukan hanya untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

  • Perubahan Pendekatan: Dari aspirasi menjadi pembangunan terukur berdasarkan data Kemenag.
  • Fokus Pembangunan: Prioritas pada pembangunan dan renovasi madrasah yang membutuhkan.
  • Penegasan: Bukan anti agama, melainkan penegakan keadilan dan pemerataan.