Terpaan Krisis Bertubi-tubi Hantam Boeing: Dari Tragedi Keselamatan hingga Tekanan Perang Dagang dengan China
Boeing, raksasa dirgantara asal Amerika Serikat, tengah menghadapi badai permasalahan yang kompleks. Rentetan peristiwa traumatis dan tantangan geopolitik telah menguji ketahanan perusahaan ini dalam beberapa tahun terakhir. Penolakan dari China terhadap produk pesawat Boeing, sebagai dampak dari perang dagang yang berkecamuk antara kedua negara adidaya ekonomi tersebut, semakin memperburuk situasi.
Masalah yang menimpa Boeing bukan hanya sekadar isu perdagangan. Serangkaian insiden terkait kelalaian dalam kontrol keselamatan dan kualitas telah berujung pada kecelakaan fatal dan penghentian operasional beberapa tipe pesawat Boeing. Belum lagi, aksi mogok kerja yang melumpuhkan sebagian besar lini produksi selama dua bulan di pengujung tahun lalu, serta penurunan drastis permintaan pesawat akibat pandemi COVID-19, semakin memperberat beban perusahaan.
"Perang tarif adalah hal terakhir yang dibutuhkan Boeing saat ini," ungkap Ron Epstein, seorang analis kedirgantaraan dari Bank of America, menggambarkan betapa peliknya situasi yang dihadapi Boeing. Tekanan terhadap Boeing semakin meningkat dalam enam tahun terakhir. Jika perang dagang dengan China memicu negara-negara lain untuk memberlakukan tarif balasan, harga jet buatan eksportir terbesar AS ini berpotensi melonjak hingga jutaan dolar.
Tanda-tanda masalah terkait tarif dagang mulai terlihat ketika dua pesawat yang berada di fasilitas Boeing di China dikembalikan ke pabrik perusahaan di Seattle, alih-alih dikirimkan ke pelanggan di China. Hal ini disebabkan oleh tarif sebesar 125% yang dikenakan oleh pelanggan China atas semua impor dari AS, sebagai respons terhadap tarif AS sebesar 145% atas sebagian besar impor dari China.
CEO Boeing, Kelly Ortberg, mengonfirmasi pengembalian dua pesawat dari China dalam sebuah pernyataan kepada investor. Ortberg juga menyebutkan bahwa pesawat ketiga akan dikembalikan akibat dampak tarif tersebut. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pengembalian jet dari China hanyalah puncak gunung es dari permasalahan perdagangan yang lebih besar yang akan dihadapi Boeing. China merupakan pasar jet komersial terbesar dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China telah menyebabkan Boeing kehilangan pangsa pasar di China, yang direbut oleh pesaingnya dari Eropa, Airbus. Data menunjukkan bahwa pelanggan China memesan 122 pesawat Boeing pada tahun 2017 dan 2018. Namun, dalam enam tahun terakhir, jumlah tersebut merosot tajam menjadi hanya 28 pesawat, yang sebagian besar merupakan pesawat kargo atau dipesan oleh perusahaan leasing China yang dapat membelinya atas nama maskapai penerbangan di luar China. Boeing bahkan belum mencatatkan satu pun pesanan jet penumpang dari maskapai penerbangan China sejak tahun 2019.
Namun, menjual dan mengirim pesawat hanyalah sebagian dari permasalahan yang dihadapi Boeing. Produksi pesawat juga menjadi perhatian serius, karena perusahaan bergantung pada suku cadang buatan luar negeri untuk sekitar 80% komponen pesawatnya. Misalnya, sayap pada 787 Dreamliner, salah satu pesawat Boeing yang paling berharga dan mahal, dipasok dari Jepang. Selain itu, sumbat pintu yang terlepas di udara dari 737 Max pada Januari 2024 berasal dari pemasok di Malaysia. Ketergantungan pada suku cadang asing dan tarif yang harus dibayar meningkatkan biaya produksi pesawat yang sudah bernilai US$ 50 juta hingga US$ 100 juta. Boeing belum melaporkan laba setahun penuh sejak 2018 dan menderita kerugian operasional gabungan sebesar US$ 51 miliar sejak saat itu.
Pada hari Rabu, Ortberg meyakinkan para investor bahwa pemerintah akan membantu meredakan kekhawatiran mereka terkait tarif. Diskusi Boeing dengan pemerintah menunjukkan pemahaman terkait pentingnya industri kedirgantaraan bagi ekonomi AS dan peran Boeing sebagai eksportir utama negara tersebut.