Polemik Pajak BBM di Jakarta: Penjelasan Lengkap dan Dampaknya

Polemik Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) di Jakarta

Isu mengenai pengenaan pajak sebesar 10 persen pada pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jakarta sempat menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Hal ini bermula dari informasi yang tercantum di situs web Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta terkait pajak daerah atas bahan bakar kendaraan bermotor dan alat berat.

Namun, penting untuk memahami beberapa poin krusial terkait Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) ini. PBBKB bukanlah pajak baru. Di Jakarta, pajak ini telah diterapkan selama hampir tiga dekade sejak Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No. 6/1998 diberlakukan. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang (UU) No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), yang memberikan wewenang kepada pemerintah provinsi untuk memungut PBBKB dengan tarif maksimal 5 persen dari harga BBM. DKI Jakarta kemudian menetapkan tarif tertinggi tersebut.

Sejak 1997, tarif PBBKB di Jakarta tetap 5 persen, meskipun terjadi perubahan peraturan daerah pada tahun 2002 dan 2010 untuk menyesuaikan dengan UU PDRD yang baru. Pada tahun 2024, dengan dicabutnya UU PDRD oleh UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), kebijakan PBBKB di Jakarta kembali mengalami perubahan. Ketentuan PBBKB diatur dalam Perda No. 1/2024 yang menyatukan seluruh kebijakan pajak dan retribusi daerah di DKI Jakarta. Tarif PBBKB naik menjadi 10 persen, kecuali untuk kendaraan umum yang tetap dikenakan tarif 5 persen.

UU HKPD memberikan wewenang kepada seluruh pemerintah provinsi untuk mengenakan PBBKB dengan tarif maksimal 10 persen. Beberapa provinsi, seperti Jawa Barat dan Jawa Timur, masih menerapkan tarif lama yang lebih rendah (5 persen), sementara Banten dan Sumatera Utara mengenakan tarif yang sama dengan Jakarta (10 persen).

Selain PBBKB, terdapat juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut oleh pemerintah pusat dengan tarif efektif 11 persen. Namun, kedua jenis pajak ini tidak akan terlalu memengaruhi harga BBM yang dibayar konsumen.

Untuk BBM bersubsidi (Pertalite dan Biosolar), pemerintah menanggung selisih harga pasar sehingga harga jual tetap sama di seluruh provinsi (Pertalite Rp 10.000 per liter dan Biosolar Rp 6.800 per liter). Sementara untuk BBM non-subsidi (Pertamax dan Pertamina Dex), biaya pajak telah termasuk dalam strategi harga Pertamina. Pertamina menerapkan penyamaan harga di provinsi-provinsi dalam satu kawasan. Misalnya, harga Pertamax di seluruh Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara adalah Rp 12.500 per liter, meskipun tarif PBBKB berbeda-beda.

Pajak BBM di Negara Lain

Pengenaan pajak atas bahan bakar adalah praktik umum di berbagai negara, termasuk di ASEAN. Negara bagian Sabah di Malaysia mengenakan pajak penjualan 5 persen atas beberapa jenis minyak dan gas. Thailand mengenakan cukai dengan tarif yang bisa mencapai lebih dari 10 persen.

Alasan Pengenaan Pajak BBM

  • Eksternalitas Negatif Lingkungan: Konsumsi BBM berdampak langsung pada lingkungan. Pajak bahan bakar bertujuan agar konsumen ikut menanggung biaya eksternalitas ini, mendorong mereka untuk mencari alternatif yang lebih ramah lingkungan (seperti kendaraan listrik).
  • Potensi Pendapatan Pemerintah: Bahan bakar adalah komoditas penting untuk mobilitas masyarakat, sehingga konsumsinya mencerminkan aktivitas ekonomi daerah. Pajak BBM menjadi sumber pendapatan potensial bagi pemerintah.

Konsumsi minyak di Indonesia mencapai 1,6 juta barel per hari. Pada tahun 2024, penyaluran BBM bersubsidi mencapai 46,3 miliar liter. PBBKB menjadi salah satu sumber pendapatan daerah terbesar bagi banyak provinsi, selain pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB).

Di Jawa Barat, PBBKB menyumbang 14,4 persen dari total penerimaan pajak daerah sebesar Rp 36,1 triliun pada tahun 2024. Di Banten, kontribusinya lebih dari 10 persen dari total realisasi pajak daerah 2024 sebesar Rp 12,3 triliun. Sebesar 70 persen dari penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/kota di provinsi terkait.

Rencana Penurunan Tarif PBBKB di Jakarta

Saat ini, Pemprov DKI Jakarta berencana menurunkan tarif PBBKB menjadi 5 persen untuk kendaraan pribadi dan 2 persen untuk kendaraan umum. Penurunan ini diperkirakan tidak akan memengaruhi harga BBM non-subsidi karena strategi penyamaan harga Pertamina berdasarkan kawasan. Pemangkasan tarif PBBKB oleh Pemprov Jakarta seharusnya tidak berdampak pada tingkat pemakaian dan harga BBM non-subsidi bagi warga Jakarta. Namun, ada risiko penurunan realisasi PBBKB yang dapat mengurangi potensi penerimaan daerah.

Masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan tentang isu pajak BBM. Selain bukan pajak baru, pemungutannya selama ini tidak terlalu memengaruhi harga BBM.