Demokrasi Kosong: Calon Tunggal di Pilkada 2024
19-December-24, 13:41PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) serentak yang akan digelar pada 27 November 2024, menghadap fenomena mencolok dalam sistem demokrasinya: adanya 42 kabupaten, lima kota, dan satu provinsi yang hanya memiliki calon tunggal.
Karuan saja situasi ini tidak hanya mencerminkan kekurangan dalam proses demokrasi, tetapi juga menyoroti potensi krisis mendalam dalam partisipasi politik dan keberagaman pilihan bagi pemilih.
Padahal demokrasi di Indonesia idealnya berfungsi sebagai wadah bagi berbagai suara dan pilihan untuk bersaing dalam pemilihan. Namun, munculnya calon tunggal di banyak daerah menunjukkan adanya masalah signifikan dalam keterlibatan politik.
Ketika hanya satu calon yang muncul, tentulah masyarakat kehilangan kesempatan untuk memilih dan menilai berbagai calon yang memiliki beragam visi dan misi. Ini mereduksi makna demokrasi yang seharusnya menawarkan pilihan dan kompetisi.
Dinamika politik lokal
Fenomena calon tunggal bukan tanpa sebab; ada beberapa faktor yang menjelaskan mengapa hal ini semakin sering terjadi. Salah satu faktor utama adalah dominasi politik lokal oleh elite atau dinasti politik yang sudah mapan.
Pengaruh keluarga politik atau tokoh-tokoh berpengaruh di daerah sering kali menghalangi kemunculan kandidat alternatif, membuat partai-partai politik cenderung mendukung calon yang sudah memiliki kekuatan elektoral daripada memunculkan sosok baru yang dapat menjadi pilihan bagi masyarakat.
Selain itu, fenomena koalisi besar partai politik juga berperan dalam memunculkan calon tunggal.
Di banyak daerah, partai-partai politik lokal lebih memilih berkoalisi untuk mendukung satu calon yang dianggap memiliki peluang besar untuk menang, sehingga tidak ada ruang bagi calon lain untuk maju.
Kondisi ini menutup peluang kompetisi politik yang sehat, karena pemilih hanya dihadapkan pada satu pilihan tanpa adanya perbandingan antara program atau visi yang berbeda dari beberapa calon.
Dampaknya, debat publik menjadi minim dan pemilih kehilangan kesempatan untuk mempertimbangkan berbagai alternatif yang mungkin lebih sesuai dengan aspirasi mereka.
Kemunculan calon tunggal sering kali mencerminkan kurangnya dinamika politik di daerah tersebut. Banyak dari calon tunggal ini adalah figur yang sudah memiliki jaringan sosial dan ekonomi kuat, sehingga sulit bagi calon lain untuk menyaingi pengaruh mereka.
Ketika kompetisi politik tidak berjalan secara sehat, demokrasi substantif terancam. Pemilih tidak benar-benar memiliki pilihan beragam dan bermakna dalam menentukan pemimpin daerah mereka, sehingga proses demokrasi berpotensi kehilangan esensinya sebagai sarana bagi masyarakat untuk mengekspresikan kehendak politik mereka secara bebas dan terbuka.
Karuan saja dengan adanya calon tunggal tersebut, maka ada kotak kosong, yang dikenal di tingkat internasional dengan istilah "None of The Above" (NOTA).
Kotak kosong bukanlah bentuk perlawanan terhadap institusi partai politik, melainkan mekanisme yang memberi pemilih pilihan untuk menolak calon tunggal yang ada tanpa harus memilih golput atau abstain.
Konsep ini berlandaskan pada prinsip bahwa pemilih harus secara aktif memberikan persetujuan atau penolakan terhadap calon, menjadikan NOTA sebagai simbol penolakan formal terhadap semua calon yang tersedia.