Banjir Bandang Sukabumi: Kisah Pilu Ibu dan Anak yang Tenggelam di Palabuhanratu

Banjir Bandang Sukabumi: Kisah Pilu Ibu dan Anak yang Tenggelam di Palabuhanratu

Tragedi banjir bandang yang menerjang Kelurahan Palabuhanratu, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi pada Kamis, 6 Maret 2025, telah merenggut korban jiwa. Di antara korban yang ditemukan, terdapat kisah pilu ibu dan anak yang menjadi sorotan. Santi Alias Zahra (40) dan putrinya, Nurul (3), hilang tersapu arus deras setelah rumah kontrakan mereka di RT 02 RW 22 Kampung Gumelar hancur lebur. Kesaksian warga sekitar mengungkap detik-detik mencekam sebelum tragedi tersebut terjadi.

Dina (59), seorang tetangga korban, mengungkapkan kesaksiannya tentang teriakan minta tolong Santi dan tangisan Nurul yang terdengar sayup-sayup di tengah derasnya air. "Air sudah sangat tinggi, seperti ombak di laut," kenang Dina, yang saat itu telah mengungsi ke lantai dua rumahnya. "Saya mendengar jelas teriakan 'tolong-tolong', itu suara Santi. Dan tangisan Nurul. Namun, apa daya, air sudah terlalu tinggi untuk dapat menolong mereka." Dina menambahkan, sebelum banjir besar datang, ia dan warga sekitar sudah mencoba membujuk Santi dan Nurul untuk mengungsi, namun ajakan tersebut ditolak. Kecepatan arus air yang tiba-tiba meningkat membuat rumah-rumah di sekitar sungai tak mampu bertahan.

Kesedihan semakin mendalam ketika Dina mengingat upaya penyelamatan yang dilakukan warga. "Ada warga yang sempat mengambil tali tambang untuk membantu, namun ketika mereka kembali, rumah kontrakan Santi sudah hancur. Saya mendengar suara 'brugg', dentuman keras yang menandakan robohnya rumah tersebut. Keponakan saya berteriak memanggil Santi, namun tak ada jawaban," tuturnya dengan suara bergetar. Kisah ini bukan hanya menggambarkan kekuatan alam yang dahsyat, tetapi juga menggambarkan kepanikan dan keterbatasan upaya penyelamatan di tengah bencana.

Andi Andriansyah, saksi mata lainnya yang juga mencoba melakukan evakuasi, menceritakan bahwa Santi sempat menolak ajakan untuk meninggalkan rumahnya meskipun air mulai meninggi. "Awalnya air masih selutut, kami sudah menyarankan untuk keluar, tetapi dia tetap bertahan di dalam rumah dan pintu kontrakannya terkunci," ujar Andi. Keengganan Santi meninggalkan rumahnya diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan dirinya dan anaknya menjadi korban. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan dan respon masyarakat terhadap peringatan dini bencana alam dan pentingnya edukasi untuk meningkatkan kewaspadaan dan mitigasi bencana.

Tragedi ini menyisakan duka mendalam bagi keluarga dan warga sekitar. Kehilangan Santi dan Nurul menjadi pengingat akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana alam dan pentingnya kerjasama antara warga dan pemerintah dalam upaya mitigasi dan penyelamatan jiwa.

Catatan: Detail selengkapnya dapat diperoleh melalui sumber berita yang tertera.