Kontroversi Label Makanan di Penang: Kios Sajikan Menu 'Nonhalal' Klaim 'Ramah Muslim'

Kontroversi Label Makanan di Penang: Kios Sajikan Menu 'Nonhalal' Klaim 'Ramah Muslim'

Sebuah kios makanan di Penang, Malaysia, menuai kontroversi setelah memasang label yang dianggap membingungkan konsumen. Kios tersebut mencantumkan tulisan 'nonhalal' yang lazim digunakan untuk menandakan makanan mengandung unsur yang dilarang bagi umat Muslim, namun secara bersamaan juga menuliskan 'Muslim-friendly' atau 'ramah Muslim'.

Kejadian ini bermula ketika seorang pengguna Facebook bernama Asmeelya Ishak, seorang asisten peneliti pascasarjana di sebuah universitas, menemukan kios tersebut di lingkungan kampusnya. Ia kemudian mengunggah foto label kontroversial itu ke media sosial, yang kemudian memicu perdebatan di kalangan warganet.

Label 'nonhalal' umumnya digunakan untuk produk makanan yang mengandung babi, alkohol, atau bahan-bahan lain yang dianggap haram dalam agama Islam. Sementara itu, istilah 'Muslim-friendly' biasanya digunakan untuk merujuk pada produk atau layanan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan atau preferensi konsumen Muslim, meskipun tidak serta merta memiliki sertifikasi halal.

Unggahan Asmeelya dengan cepat mendapatkan perhatian luas. Dalam keterangannya, ia menulis, "Sekadar informasi, nonhalal BUKAN ramah Muslim. Jangan menaruh papan nama berdampingan seperti ini. Tulis saja BUKAN UNTUK MUSLIM. Gampang." Kritiknya tersebut menyoroti ketidaksesuaian antara kedua label tersebut, yang dianggapnya dapat menyesatkan konsumen Muslim.

Menanggapi kontroversi ini, seorang alumni universitas, Din Shamsudin Hussin, menginformasikan bahwa pihak universitas telah mengambil tindakan tegas dengan menutup kios makanan tersebut dan melakukan pembersihan. Ia juga menyampaikan kekecewaannya terhadap penyelenggara acara, yang terdiri dari dewan mahasiswa dan Asosiasi Bahasa Tionghoa, karena dianggap kurang peka terhadap isu halal dan haram.

"Kemarin malam (21 April) Departemen Keamanan mengambil tindakan cepat untuk segera menutup lokasi dan membatalkan program. Pekerjaan pembersihan telah dilakukan," ujar Din.

Din menambahkan pentingnya bagi penyelenggara acara dan mahasiswa untuk lebih memahami kebijakan universitas terkait makanan halal dan haram. Ia juga menekankan perlunya mendidik generasi muda tentang isu-isu ini.

Kios makanan yang menjadi sumber kontroversi tersebut diketahui bernama 'Potato Kingdom'. Dari foto yang beredar, terlihat bahwa informasi menu dan harga ditulis dalam bahasa Mandarin. Menu yang ditawarkan bervariasi, termasuk hidangan dengan bumbu telur asin, mala, dan keju. Kios itu juga menjual muah chee, camilan tradisional yang terbuat dari adonan beras ketan.

Kasus ini mengingatkan pada insiden serupa yang dialami oleh sebuah keluarga Malaysia saat berlibur ke Thailand. Mereka membeli makanan dari seorang penjual yang mengenakan hijab, namun kemudian menyadari bahwa makanan tersebut tidak halal. Kejadian ini menyoroti pentingnya kehati-hatian dan verifikasi status halal suatu produk makanan, meskipun penjualnya terlihat Muslim.

Berikut adalah poin-poin penting yang dapat ditarik dari kejadian ini:

  • Kejelasan Label Makanan: Penting bagi penjual makanan untuk memberikan informasi yang jelas dan akurat mengenai kandungan dan status halal produk mereka.
  • Sensitivitas Terhadap Konsumen Muslim: Penjual makanan, terutama di negara dengan populasi Muslim yang signifikan, perlu memahami dan menghormati kebutuhan konsumen Muslim.
  • Peran Otoritas: Otoritas terkait, seperti universitas atau lembaga sertifikasi halal, memiliki peran penting dalam memastikan kepatuhan terhadap standar halal dan memberikan edukasi kepada masyarakat.
  • Kesadaran Konsumen: Konsumen juga perlu meningkatkan kesadaran mereka mengenai isu halal dan haram, serta melakukan verifikasi sebelum membeli produk makanan.

Kontroversi ini menjadi pengingat akan pentingnya kejelasan informasi dan kehati-hatian dalam penyediaan dan konsumsi makanan, khususnya dalam konteks kehalalan.