70 Tahun KAA: Momentum yang Terlewatkan untuk Kepemimpinan Global Indonesia
70 Tahun KAA: Momentum yang Terlewatkan untuk Kepemimpinan Global Indonesia
Peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 18-24 April 2025 seharusnya menjadi momen penting untuk merefleksikan peran historis Indonesia dalam diplomasi internasional. KAA 1955 di Bandung, yang mempertemukan 29 negara Asia dan Afrika yang baru merdeka, menghasilkan Dasasila Bandung, prinsip-prinsip yang menekankan kedaulatan, non-intervensi, dan penyelesaian sengketa secara damai. Prinsip-prinsip ini kemudian menginspirasi Gerakan Non-Blok (GNB) dan kerja sama Selatan-Selatan. Namun, peringatan KAA ke-70 berlalu tanpa perayaan yang signifikan, menunjukkan hilangnya momentum bagi Indonesia untuk memproyeksikan kepemimpinan global.
Ironisnya, di tengah kebutuhan Indonesia akan legitimasi moral dan politik global, peringatan KAA ke-70 berlalu nyaris tanpa gaung. Padahal, dunia saat ini tengah menghadapi fragmentasi yang mendalam, ditandai dengan konflik geopolitik, ketegangan geoekonomi, dan proteksionisme perdagangan. Kebijakan tarif baru Amerika Serikat, misalnya, mengancam ekspor Indonesia dan menunjukkan kontraksi globalisasi. Dalam konteks ini, Indonesia seharusnya memanfaatkan momentum KAA untuk menggalang solidaritas negara-negara Selatan dan mendorong reformasi sistem perdagangan global.
Tantangan Global dan Peluang Diplomasi
Forum Ekonomi Dunia (WEF) melaporkan bahwa lebih dari 70% populasi dunia tinggal di negara yang terkena dampak konflik geopolitik dan ketegangan geoekonomi. Perang di Ukraina, aktivitas militer Tiongkok di Laut Cina Selatan, krisis kemanusiaan di Gaza, dan perlombaan senjata nuklir menunjukkan keruntuhan sistem internasional pasca-Perang Dingin.
Kebijakan tarif "Liberation Day Tariffs" yang diumumkan oleh Presiden AS pada 2 April 2025, menetapkan tarif dasar 10% untuk semua impor dan tarif tambahan 32% untuk negara-negara tertentu, termasuk Indonesia. Kebijakan ini berdampak signifikan pada ekspor Indonesia, yang menyebabkan pemerintah mengirim delegasi tingkat tinggi ke Washington untuk bernegosiasi. Indonesia setuju untuk meningkatkan impor dari AS hingga 19 miliar dolar AS untuk mengurangi surplus perdagangan dan menghindari tarif tambahan.
IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global hanya 3,1%, mencerminkan tekanan struktural dari inflasi, fragmentasi pasar energi, dan rantai pasok global yang rapuh. Kebijakan proteksionisme mendorong negara-negara maju untuk mengamankan pasokan domestik, yang mengakibatkan penurunan investasi asing langsung (FDI) ke negara-negara berkembang.
Indonesia di Persimpangan Global
Indonesia, dengan ketergantungan ekspor pada bahan mentah dan komoditas, rentan terhadap dinamika global. Padahal, Indonesia memiliki bonus demografi, di mana penduduk usia produktif mencapai 70,7% dari total populasi. Bonus ini dapat menghasilkan dividen demografi jika didukung oleh pendidikan berkualitas, industrialisasi, dan akses pasar global yang adil, yang hanya dapat dicapai melalui diplomasi ekonomi dan kerja sama strategis.
Sayangnya, alokasi anggaran untuk Kementerian Luar Negeri jauh lebih kecil dibandingkan dengan sektor pertahanan, mencerminkan kurangnya penekanan pada diplomasi. Padahal, sejarah Indonesia membuktikan bahwa keberhasilan menyatukan Nusantara adalah hasil dari negosiasi dan kemampuan membangun kepercayaan, bukan hanya kekuatan militer.
Diplomasi adalah instrumen strategis bagi Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nasional, menjaga stabilitas kawasan, dan membangun posisi tawar di dunia. Konflik di Palestina juga menunjukkan bahwa pendekatan yang mengandalkan kekuatan militer menghasilkan isolasi dan kecaman internasional.
Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi kekuatan moral global dengan prinsip politik luar negeri bebas aktifnya. Indonesia harus memberikan ruang lebih besar bagi diplomasi sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional, menyeimbangkan perlindungan dan perundingan.
Menghidupkan Kembali Semangat Bandung
Presiden Soekarno memahami pentingnya soft power, menegaskan bahwa perdamaian dunia tidak akan tercapai selama masih ada penjajahan dan ketidakadilan. Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dan kekuatan ekonomi terbesar ke-16 di dunia, memiliki modal besar untuk memimpin gerakan global yang berbasis nilai.
Peringatan 70 tahun KAA adalah panggilan sejarah bagi Indonesia untuk menjadi pelopor tatanan dunia yang lebih adil. Jika Indonesia diam, dunia akan bergerak tanpa kita, dan Indonesia akan kehilangan keistimewaannya sebagai jembatan antara utara dan selatan, timur dan barat. Dunia menanti suara dari Bandung.