Satu Abad KRL: Antara Warisan Sejarah dan Tuntutan Masa Depan

KRL: Sejarah Panjang, Tantangan Segudang

Kereta Rel Listrik (KRL), moda transportasi publik yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat urban, khususnya di wilayah Jabodetabek, akan merayakan usia satu abad pada 6 April 2025. Sejak beroperasi pertama kali pada tahun 1925, KRL telah melewati berbagai fase perkembangan, dari era kolonial hingga era modern. Namun, seiring bertambahnya usia, KRL juga menghadapi serangkaian tantangan yang semakin kompleks.

Pada tanggal 22 April lalu, sebuah parade bertajuk "100 Tahun KRL" digelar di Stasiun Jakarta Kota, stasiun bersejarah yang dirancang oleh arsitek Frans Johan Louwrens Ghijsels dan dibangun lima tahun setelah KRL pertama kali beroperasi. Acara ini dihadiri oleh para railfans yang antusias untuk menyaksikan KRL ESS 3200, atau yang akrab disapa KRL Bon-Bon, kereta listrik tertua yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang KRL di Indonesia. Momen ini memicu berbagai komentar di media sosial, termasuk ungkapan terima kasih kepada Belanda atas inisiasi pembangunan KRL di masa lalu.

Di sisi lain, parade tersebut juga menampilkan kereta-kereta baru yang dipesan dari China dan produksi PT INKA, sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas layanan KRL. KAI Commuter, sebagai operator KRL, telah memesan 11 rangkaian kereta dari China dan 24 rangkaian kereta dari INKA. Kereta-kereta baru ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat yang semakin meningkat, dengan jumlah penumpang KRL yang telah menembus angka 1 juta per hari.

Refleksi Masa Lalu, Adaptasi Masa Kini

KRL ESS 3200, sebagai generasi pertama KRL, mampu beroperasi hingga usia hampir 50 tahun. Di masa lalu, selama kereta masih bisa digunakan, perawatan dan perbaikan terus dilakukan untuk memastikan kelangsungan operasional. Namun, pendekatan ini tidak lagi relevan di era modern, di mana masyarakat semakin menuntut kualitas layanan yang lebih baik dan perbandingan dengan standar yang lebih tinggi.

KRL Commuter Line telah menjadi moda transportasi pilihan utama bagi banyak masyarakat, dengan catatan jumlah penumpang mencapai 374,4 juta dalam setahun terakhir. Sebagian besar penumpang tersebut berasal dari wilayah Jabodetabek, yang mencapai 328 juta penumpang. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran KRL dalam memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat perkotaan.

Salah satu indikator penting dalam menilai kualitas layanan KRL adalah on time performance (OTP). Pada tahun lalu, KRL mencatatkan OTP rata-rata 99 persen untuk keberangkatan dan 96 persen untuk kedatangan. Ketepatan waktu ini menjadi faktor krusial bagi pengguna KRL, terutama bagi mereka yang memiliki jadwal yang padat. Selain itu, konektivitas dengan moda transportasi lain juga menjadi nilai tambah bagi KRL, yang memudahkan pengguna untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir.

Tantangan dan Harapan di Masa Depan

Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh KAI Commuter adalah keterbatasan jumlah kereta yang disebabkan oleh usia armada yang semakin tua. Hal ini memaksa operator untuk melakukan penyesuaian, seperti mengurangi jumlah stamformasi (rangkaian kereta) menjadi 10 atau bahkan 8 gerbong. Meskipun demikian, KAI Commuter tetap berupaya untuk menjaga ketepatan waktu dan kualitas layanan.

Para railfans, sebagai komunitas pencinta KRL, seringkali memberikan perhatian khusus terhadap isu-isu terkait KRL, termasuk keterbatasan jumlah kereta dan dampaknya terhadap layanan. Mereka berharap agar pemerintah dapat memberikan dukungan yang lebih besar dalam meningkatkan ketersediaan armada dan infrastruktur KRL.

Pengembangan KRL di kota-kota besar lain di Indonesia, seperti Medan, Makassar, dan Palembang, juga menjadi harapan banyak pihak. Dengan adanya KRL, diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi, mengatasi kemacetan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Sebagai contoh, kemacetan di Jakarta diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp 60-100 triliun per tahun, belum termasuk biaya bahan bakar yang terbuang percuma. Dengan kemampuan KRL untuk mengangkut ratusan juta penumpang setiap tahun, potensi kerugian akibat kemacetan dapat diminimalkan.

Satu abad lalu, pemerintah kolonial Hindia Belanda telah membangun KRL sebagai solusi transportasi massal di Jakarta dan sekitarnya. Kini, tantangan bagi pemerintah Indonesia adalah untuk melanjutkan warisan tersebut dan memastikan bahwa KRL dapat terus melayani masyarakat dengan baik.

Dengan dukungan yang memadai dari pemerintah, KAI Commuter dapat meningkatkan kualitas layanan KRL, memperluas jaringan, dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia. Harapannya, di masa depan, akan semakin banyak masyarakat yang memberikan apresiasi terhadap KRL dan pemerintah atas upaya mereka dalam menyediakan transportasi publik yang handal dan terjangkau.