Polri Telusuri Laporan Lama Korban Diduga Eksploitasi Oriental Circus Indonesia Tahun 1997
Aparat kepolisian tengah berupaya menelusuri data laporan terkait dugaan eksploitasi yang dialami sejumlah korban Oriental Circus Indonesia (OCI) pada tahun 1997. Brigjen Pol Nurul Azizah, Direktur Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak (PPA) - Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPO) Bareskrim Polri, mengungkapkan bahwa pencarian data ini dilakukan menyusul kembali mencuatnya kasus tersebut ke publik.
"Terkait laporan yang masuk pada tahun 1997, kami masih dalam proses pencarian data. Perlu diingat bahwa kejadian ini sudah berlangsung 28 tahun lalu," kata Nurul kepada awak media, Rabu (23/4/2025).
Sebagai bagian dari upaya penelusuran, pihak kepolisian telah mengirimkan surat resmi kepada unit kerja yang sebelumnya menangani laporan tersebut. Langkah ini diambil untuk mempercepat proses pengumpulan informasi dan mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai kasus yang terjadi di masa lampau.
Nurul juga menegaskan bahwa Polri terus memantau perkembangan pendampingan yang diberikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) kepada para korban. Koordinasi antara Polri dan Kemen PPPA juga terus dilakukan melalui serangkaian pertemuan untuk membahas perkembangan kasus ini secara komprehensif.
Sebelumnya, salah seorang korban OCI, Fifi Nur Hidayah, mengaku pernah melaporkan penyiksaan yang dialaminya ke Mabes Polri. Namun, laporan tersebut ditolak dengan alasan telah kedaluwarsa dan kurangnya bukti visum.
Fifi menceritakan bahwa dirinya berhasil melarikan diri dari Taman Safari Indonesia sekitar tahun 1997. Dengan bantuan seorang teman, ia dibawa ke Semarang dan menikah. Setelah itu, Fifi memberanikan diri untuk melaporkan kasusnya ke Komnas HAM.
"Saya akhirnya ditolong mantan saya, melarikan diri dari Taman Safari, dan akhirnya saya lolos. Saya dibawa ke Semarang, saya dinikahkan dan akhirnya saya memberanikan diri melapor ke Komnas HAM, Bapak Mulyadi waktu itu," ujar Fifi saat berbicara di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (23/4/2025).
Laporan Fifi ke Komnas HAM diterima. Namun, ketika ia melaporkan kasusnya ke Mabes Polri, ia justru menghadapi kesulitan. Petugas kepolisian meminta bukti visum sebagai syarat untuk membuat laporan.
"Saya lapor dulu ke Mabes Polri. Saya bilang saya dipukulin. Saya tidak tahu orangtua, saya tidak punya identitas. Tapi, orang Mabes malah nanyain, ‘Kamu dipukulin punya bukti enggak?’ Bukti apa, Pak? ‘Bukti visum,’" tutur Fifi.
Pada saat itu, Fifi mengaku tidak memahami mengenai prosedur visum. Polisi kemudian menyatakan bahwa kasusnya telah kedaluwarsa karena sudah terlalu lama.
"Saya kan enggak ngerti kalau ada saat itu visum tuh seperti itu. Saya bilang saya enggak ngerti, Pak. Akhirnya dia bilang kasusnya sudah kedaluwarsa karena sudah kelamaan," ungkapnya.
Pencarian data oleh Polri ini menjadi angin segar bagi para korban OCI yang berharap kasus mereka dapat diusut tuntas. Meskipun kejadian sudah berlangsung lama, upaya penegakan hukum tetap harus dilakukan untuk memberikan keadilan bagi para korban dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.
Upaya pencarian data ini menjadi penting untuk mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi para korban. Selain itu, hal ini juga menjadi pelajaran penting bagi aparat penegak hukum untuk lebih responsif dan proaktif dalam menangani kasus-kasus kekerasan dan eksploitasi, terutama yang melibatkan anak-anak dan perempuan. Koordinasi yang baik antar lembaga terkait, seperti Polri dan Kemen PPPA, juga sangat penting untuk memastikan bahwa para korban mendapatkan pendampingan dan perlindungan yang dibutuhkan.