Mahasiswa UII Ajukan Gugatan UU MK Terkait Kuota Minimum Hakim Konstitusi Perempuan

Gelombang gugatan terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) kembali bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, enam mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, yaitu Aulia Shifa Salsabila, Meika Yudiastriva, Safira Ika Maharani, Nadia Talitha Ivanadentrio, Dzaky Al Fakhri, dan Satrio Anggito Abimanyu, secara resmi mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dalam gugatannya, para mahasiswa tersebut menyoroti ketiadaan pengaturan yang eksplisit mengenai representasi perempuan minimal 30 persen dalam komposisi hakim konstitusi. Mereka berpendapat bahwa Pasal 18 Ayat (1) UU MK saat ini tidak memberikan kepastian hukum yang memadai terkait kuota hakim konstitusi perempuan dan laki-laki, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi.

Para pemohon berdalih bahwa ketiadaan ketentuan yang jelas mengenai kuota perempuan dalam pemilihan hakim konstitusi bertentangan dengan semangat kesetaraan gender yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Mereka meminta MK untuk menyatakan Pasal 18 Ayat (1) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, kecuali jika pasal tersebut dimaknai bahwa setiap pengajuan calon hakim konstitusi dari Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden wajib menyertakan minimal 30 persen keterwakilan perempuan, yang kemudian akan ditetapkan melalui Keputusan Presiden.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar pada Rabu, 23 April 2025 dengan perkara nomor 27/PUU-XXIII/2025, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur memberikan sejumlah nasihat kepada para pemohon. Beliau menekankan pentingnya pemahaman yang mendalam terkait dasar gender dalam pengujian norma, agar alasan gugatan tidak hanya sekadar menekankan tindakan afirmatif dengan mencantumkan kuota 30 persen bagi hakim perempuan dari total sembilan hakim konstitusi.

Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih, juga memberikan masukan kepada para pemohon untuk lebih mencermati kedudukan hukum (legal standing) mereka sebagai mahasiswa dalam mengajukan gugatan ini. Beliau mempertanyakan bagaimana para pemohon dapat meyakinkan MK bahwa mereka mengalami kerugian konstitusional akibat pasal yang diujikan. Enny juga mengingatkan bahwa Pasal 18 Ayat (1) tidak dapat dipisahkan dari Pasal 24C UUD 1945, dan jabatan hakim konstitusi merupakan jabatan yang sangat selektif. Lebih lanjut, Enny menanyakan potensi dampak jika gugatan dikabulkan, serta apakah hal tersebut tidak akan menimbulkan diskriminasi baru.

Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Enny memberikan kesempatan kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonan gugatan mereka hingga batas waktu Selasa, 6 Mei 2025. Hal ini memberikan ruang bagi para mahasiswa UII untuk memperkuat argumentasi hukum mereka dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para hakim konstitusi.