Perempuan Garda Terdepan dalam Menghadapi Tantangan Perubahan Iklim

Perubahan iklim menjadi isu global yang dampaknya dirasakan oleh seluruh makhluk hidup, namun kaum perempuan dinilai menjadi kelompok yang paling rentan dan terdampak secara signifikan. Lebih dari sekadar korban, perempuan memegang peranan krusial dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, terutama dalam lingkup keluarga.

Pegiat lingkungan, Nada Arini, menyoroti bahwa perempuan, sebagai pengelola utama kebutuhan rumah tangga, menghadapi tantangan langsung akibat perubahan iklim. Ketika krisis iklim memicu kelangkaan dan kenaikan harga bahan pangan, perempuanlah yang pertama kali merasakan dampaknya. Mereka dituntut untuk memutar otak dalam memenuhi kebutuhan keluarga dengan sumber daya yang semakin terbatas. "Jika kita berbicara tentang perubahan iklim, maka kita akan menghadapi kesulitan dalam memperoleh bahan pangan. Perempuanlah yang memikirkan bagaimana memberi makan keluarga, apa yang harus dimasak, sementara harga beras mahal. Jadi, menurut saya, perempuan adalah kelompok yang paling terdampak dan paling berisiko terkena dampak dari krisis iklim," ungkap Nada dalam sebuah wawancara daring.

Nada menekankan bahwa perempuan memiliki peran dominan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan rumah tangga, mulai dari pemilihan dan pembelian bahan makanan hingga pengelolaan sampah. Hal senada juga diungkapkan oleh Novia Arifin, seorang pegiat lingkungan yang aktif mengkampanyekan gaya hidup bijak konsumsi melalui media sosial. "Mulai dari makanan yang kita konsumsi hingga sampah yang kita buang, perempuan memiliki peran yang lebih besar dan dominan dalam mengelola rumah tangga, mulai dari membeli sayur hingga memasak dan membuangnya," jelas Novia.

Lebih jauh lagi, perempuan juga memegang kendali dalam keputusan pembelian barang-barang kebutuhan rumah tangga. Tak heran jika banyak aktivis lingkungan di tingkat perumahan didominasi oleh kaum ibu. Yobel, suami Novia, bahkan berpendapat bahwa perempuan adalah pemegang kunci sentral dalam peradaban manusia. "Karena memang wanita itu perannya sentral dalam peradaban. Pesan kuncinya adalah bahwa suara seluruh masyarakat, terutama wanita, sangat berharga," kata Yobel.

Novia menambahkan bahwa ibu rumah tangga memegang peran penting bagi keberlangsungan masa depan keluarga. "Banyak ibu-ibu yang berkata, 'Saya kan cuma ibu rumah tangga'. Seharusnya tidak berkata demikian. Justru karena Anda adalah ibu-ibu, dan Anda memegang masa depan generasi selanjutnya, suara Anda itu paling penting sebenarnya," jelas Yobel.

Keterkaitan antara perempuan dan perubahan iklim sangat erat dengan isu ketahanan pangan. Meskipun perempuan saat ini memiliki kebebasan untuk bekerja dan menafkahi keluarga, peran mereka dalam mengatur segala sesuatu di dalam rumah tangga tidak pernah hilang. "Sebagai seorang wanita, pasti ada efek besar karena kita yang membawa makanan ke rumah. Jadi, ketika ada krisis iklim, pasti harga bahan makanan jadi mahal. Itu juga menjadi masalah lagi, kualitasnya juga menjadi masalah. Dari perubahan iklim itu sudah pasti berefek pada sayur dan makanan yang kita beli," terang Novia.

Pemberdayaan perempuan dianggap sebagai langkah penting untuk mengatasi masalah ketahanan pangan, krisis iklim, dan memajukan bangsa. Nada meyakini bahwa jika pemerintah memberikan perhatian dan memberdayakan kaum ibu, Indonesia akan menjadi negara yang hebat dan maju bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Dengan kekuatan yang dimiliki, Novia mengajak seluruh perempuan dan masyarakat untuk terus menyuarakan dan menggerakkan gaya hidup berkelanjutan (sustainable lifestyle) agar dapat mendorong pihak berwenang untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam penanganan krisis iklim. Menurut Novia dan Yobel, aktivis lingkungan tidak harus selalu turun ke lapangan. Di era digitalisasi ini, platform digital dapat dimanfaatkan untuk menyuarakan pentingnya penanganan krisis iklim secara kolektif, mulai dari individu, komunitas, hingga pemerintah.