Fenomena Perjalanan Ekstrem Menuju Mekah: Antara Ketaatan Berlebihan dan Ancaman Bahaya
Fenomena Perjalanan Ekstrem Menuju Mekah: Antara Ketaatan Berlebihan dan Ancaman Bahaya
Perjalanan menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji selalu diiringi kisah perjuangan. Kisah-kisah leluhur yang menempuh perjalanan panjang dengan keterbatasan sarana dan prasarana telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perjalanan haji Indonesia. Namun, belakangan ini muncul fenomena baru yang cukup mengkhawatirkan: semakin banyaknya jemaah yang memilih cara ekstrem, seperti berjalan kaki atau bersepeda, untuk mencapai Tanah Suci. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius terkait pemahaman keagamaan, keselamatan, dan dampak media sosial.
Tradisi perjalanan haji di masa lalu, sekalipun penuh tantangan, didasarkan pada realita keterbatasan teknologi dan infrastruktur. Perjalanan laut yang memakan waktu berbulan-bulan, atau perjalanan darat dengan jarak ratusan kilometer, merupakan bukti keteguhan iman dan tekad yang kuat. Namun, berbeda dengan zaman sekarang, di mana aksesibilitas dan teknologi transportasi telah jauh lebih maju. Munculnya fenomena jemaah yang memilih jalur ekstrem, tanpa persiapan memadai, justru mengabaikan prinsip-prinsip dasar keselamatan dan kesiapan yang dianjurkan agama.
Salah satu aspek yang perlu ditekankan adalah pemahaman yang keliru tentang konsep “mampu” dalam melaksanakan ibadah haji. Syariat Islam menetapkan bahwa ibadah haji wajib bagi mereka yang mampu, meliputi aspek finansial, fisik, keamanan, dan administratif. Berangkat dengan persiapan minim, bahkan mengandalkan belas kasih orang lain di perjalanan, jelas bertentangan dengan prinsip ini. Lebih jauh lagi, ancaman terhadap keselamatan diri sendiri justru bertentangan dengan prinsip menolak keburukan yang lebih besar daripada mengejar kebaikan. Dalam konteks ini, memaksakan diri melakukan perjalanan ekstrem menuju Mekah, tanpa memperhatikan aspek keselamatan, justru dapat dikategorikan sebagai tindakan yang merugikan diri sendiri dan bertentangan dengan ajaran agama.
Meskipun ada individu yang berhasil mencapai Mekah melalui cara ekstrem, seperti kasus Habibi Noor Mohammad yang bersepeda selama 83 hari, perlu digarisbawahi bahwa keberhasilan tersebut tidak lepas dari persiapan fisik yang matang dan pengalamannya sebagai atlet ultra cycling. Bahkan dalam perjalanannya, ia tetap memanfaatkan transportasi udara untuk melewati wilayah konflik, menunjukkan bahwa ia tetap mempertimbangkan aspek keamanan. Kondisi ini tentu berbeda dengan jemaah yang berangkat tanpa persiapan memadai dan pengalaman yang relevan.
Sayangnya, fenomena ini semakin diperparah oleh atensi publik di media sosial. Banyaknya konten live streaming dan unggahan yang menyorot perjalanan ekstrem ini, disertai dukungan finansial dari warganet, justru menciptakan glorifikasi dan tren yang berbahaya. Hal ini memicu fenomena Fear of Missing Out (FOMO), mendorong semakin banyak orang untuk mengikuti jejak serupa tanpa mempertimbangkan risiko yang dihadapi. Mekanisme algoritma media sosial yang memprioritaskan konten viral semakin memperkuat siklus ini, mirip dengan fenomena viral mandi lumpur sebelumnya, di mana empati publik dikonversi menjadi keuntungan pribadi.
Kesimpulannya, fenomena perjalanan ekstrem menuju Mekah merupakan cerminan dari kesalahpahaman terhadap ajaran agama dan konsep “mampu” dalam melaksanakan ibadah haji. Meskipun dilatarbelakangi niat baik, tindakan ini mengabaikan aspek-aspek penting yang dapat membahayakan keselamatan dan kesejahteraan jemaah. Lebih jauh lagi, glorifikasi dan dukungan publik di media sosial semakin memperburuk situasi ini, menciptakan tren yang berisiko dan mengaburkan nilai-nilai keagamaan yang sebenarnya.
Perlu adanya edukasi dan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai syarat dan ketentuan pelaksanaan ibadah haji, serta meningkatkan kesadaran publik untuk tidak mendukung tindakan-tindakan yang membahayakan. Media sosial pun perlu berperan lebih bertanggung jawab dalam menyaring dan mencegah penyebaran konten yang dapat memicu tren berbahaya seperti ini.