Penetapan Tersangka Direktur JAK TV Tuai Kritik: Dugaan Pelanggaran UU Pers Mencuat

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyoroti penetapan Direktur JAK TV, Tian Bahtiar, sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Fickar menilai, langkah Kejagung tersebut berpotensi melangkahi prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Pers.

Menurut Fickar, sebelum menjerat Tian Bahtiar dengan status tersangka terkait pemberitaan yang dianggap merugikan dan menghambat proses penyidikan, Kejagung seharusnya memberikan hak jawab kepada yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam UU Pers. Ia menekankan bahwa profesi pers memiliki aturan tersendiri yang harus dihormati.

"Menurut saya ini tidak sesuai prosedur. Seharusnya mekanisme Undang-undang Pers itu dilakukan terlebih dahulu. Kejaksaan sudah langsung mempidanakan. Ini yang menurut saya agak kebablasan," kata Fickar.

Fickar menjelaskan, jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media, yang bersangkutan seharusnya mengajukan hak jawab kepada redaksi media sebelum menempuh jalur hukum pidana. Ia menambahkan, penyelesaian sengketa pers idealnya melibatkan Dewan Pers.

Dalam kasus ini, Fickar menyoroti bahwa Kejagung belum memanfaatkan hak jawab yang seharusnya diberikan, sehingga ia menilai tindakan aparat penegak hukum tersebut terkesan terburu-buru.

"Jadi menurut saya ini tidak sah penetapan tersangka karena ada prosedur yang tidak diikuti. Kalau keberatan terhadap pemberitaan, kalau keberatan terhadap penyiaran, dan sebagainya, itu ada mekanismenya sendiri. Ada hak jawab, ada hak untuk melakukan counter, dan sebagainya," kata dia.

Sebelumnya, Kejagung menetapkan Tian Bahtiar bersama dua advokat, Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, sebagai tersangka dalam kasus dugaan menghalangi penyidikan terkait kasus korupsi PT Timah Tbk, importasi gula di Kementerian Perdagangan, dan ekspor CPO. Kejagung menduga ketiganya terlibat dalam permufakatan jahat dengan membangun opini publik negatif yang menyudutkan Kejagung melalui pemberitaan.

Kejagung mengklaim bahwa berita-berita tersebut dibuat oleh Tian atas permintaan Marcella dan Junaedi dengan imbalan sebesar Rp 478.500.000 yang masuk ke rekening pribadi Tian. Modusnya, Marcella dan Junaedi menggelar seminar, talkshow, hingga demonstrasi dengan narasi negatif terkait penanganan perkara oleh Kejagung, yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh Tian.

Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Herik Kurniawan, juga mengkritik proses hukum terhadap Tian dan menyatakan bahwa masalah terkait karya jurnalistik seharusnya menjadi kewenangan Dewan Pers.

"Kasus TB (Tian Bahtiar) terkait dengan karya-karya jurnalis. Yang bisa menentukan bahwa karya-karya jurnalis ini adalah negatif, bermasalah, ada konspirasi, ada fitnah, buruk, itu adalah wilayahnya Dewan Pers," kata Herik.

"Jadi, ini adalah kesalahan prosedur yang dilakukan," imbuh dia.

Sementara itu, Komisi Kejaksaan (Komjak) berpendapat bahwa penetapan Tian sebagai tersangka didasari oleh adanya permufakatan jahat dengan seorang pengacara untuk menghalangi penyidikan sejak awal. Komjak juga menyoroti adanya aliran dana ke rekening pribadi Tian.

Ketua Komjak, Pujiyono, menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Direktur Pemberitaan JAK TV tersebut bukan semata-mata didasari oleh konten pemberitaan negatif yang diduga dibuat oleh Tian Bahtiar.

Berikut point-point penting dalam berita:

  • Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai Kejagung kebablasan menetapkan Direktur JAK TV Tian Bahtiar sebagai tersangka.
  • Penetapan tersangka dinilai melanggar UU Pers karena belum memberikan hak jawab.
  • IJTI juga menilai kasus ini sebagai kesalahan prosedur karena terkait karya jurnalistik yang seharusnya menjadi kewenangan Dewan Pers.
  • Komisi Kejaksaan berpendapat penetapan tersangka didasari adanya permufakatan jahat untuk menghalangi penyidikan.